MAKALAH IJTIMA'


BAB I
PENDAHULUAN

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi di bawah Al-Qur’an dan Hadits, ijma’ merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’. Namun ada beberapa komunitas umat Islam yang tidak mengakui dengan adanya ijma’ yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihad dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri.
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.  Khalifah Umar Ibnu Khattab misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.
Terkait ulama’ yang mengakui adanya ijma’, ada beberapa yang masih bertentangan tentang kehujjahannya untuk dijadikan sumber dalam pengambilan hukum, hal ini disebabkan karena dalam pelaksanannya saja  sudah menuai perbedaan. Beberapa kelompok meyakini bahwa ijma’ yang bisa dijadikan hujjah yaitu ijma’ yang terjadi di kalangan sahabat saja dan beberapa ulama’ ada yang berargumentasi bahwa ijma’ masih bisa dilakukan pada masa-masa setelah sahabat. Apalagi pada masa sekarang yang banyak bermunculan permasalahan baru yang membutuhkan jawaban, sehingga ijma’ atau istimbath hukum dengan jalan muayawarah sangat diperlukan yang nantinya akan menemukan titik terang dalam menyelesaikan persoalan. Ijma’ sangat erat kaitannya dengan ijtihad, karena ijma’ berawal dari gagasan atau ide yang muncul dari berijtihad.
Dalam menyelesaikan persoalan baru yang berkembang di masyarakat, ijtihad individu atau ijtihad fard sepertinya belum cukup akurat, tetapi ada tawaran baru yaitu dengan bersatunya mujtahid-mujtahid individu ke dalam ijtihad jama’i atau sekarang lebih populer dengan sebutan ijtihad kolektif. Karena bahwa dengan ijtihad secara bersama-sama lebih mendekati kebenaran dalam mengambil kesimpulan suatu permasalahan, selain itu notabenenya ijma’ juga dilakukan secara bermusyawarah diantara para ulama’. Namun, dengan solusi ini juga tidak akan lepas dari yang namanya pertentangan dan perbedaan pendapat. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis berusaha membahas apa yang dimaksud ijtihad kolektif, syarat-syaratnya sampai pada lembaga-lembaga aplikasi ijtihad kolektif. Sebelum menuju ke sana penulis akan membahas terlebih dahulu tentang konsep ijma’.


BAB II
PEMBAHASAN
A.     KONSEP IJMA’
1.      Definisi Ijma’
Secara etimologi, ijma’ (الإجماع) berarti kesepakatan atau konsesnsus. Ijma’ juga berarti (العزم على شيء) ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Perbedaan antara pengertian pertama dengan yang kedua terletak apada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.
Secara terminologi, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh para ulama’ ushul fiqh. Jumhur ulama’ ushul fiqh sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili, Abu Zahrah dan Wahhab Khalaf merumuskan ijma’  dengan kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya beliau terhadap suatu hukum syara’, dan Abu Zahra menambahkan diakhir definisinya dengan “yang bersifat amaliyah”.[1]

2.      Rukun dan Syarat-Syarat terjadinya Ijma’.
Jumhur ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima, yaitu:
a.       Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma’.
b.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia.
c.       Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya.
d.      Hukum yang disepakati itu adalah hukum  syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an.
e.      Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-Qur’an dan atau hadits Rasulullah.

Disamping kelima rukun di atas, jumhur ulama’ ushul fiqh mengemukakan syarat ijma’: yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijma’, kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agama), dan para mujtahid yang terlibat adalah orang yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.[2][2]

3.      Pembagian Ijma’.
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ terbagi menjadi dua yaitu ijma’ sharih (jelas) dan ijma’ sukuti (diam/persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama’):[3]
a.       Ijma’ sharih (jelas), yaitu kesepakatan seluruh para mujtahid baik dengan perkataan atau perbuatan terhadap suata masalah tertentu, setiap para mujtahid menyampaikan pendapatnya dengan jelas.
b.      Ijma’ sukuti (diam), yaitu kesepakatan sebagian mujtahid dalam suatu permasalahan dan sebagian mujtahid yang lain tidak berpendapat (diam) dan tidak mengingkarinya. Ijma’ yang kedua ini, para ulama’ masih berselisih pendapat  apakah termasuk hujjah syar’iyah atau tidak:

Menurut Al-Malikiyah dan Al-Syafi’iyah bukan ijma’ dan bukan hujjah syar’iyah karena diamnya sebagian mujtahid belum tentu menunjukkan kesepakatan. Menurut Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah dianggap ijma’ dan hujjah qot’iyah karena diamnya sebagian mujtahid yang lain menunjukkan taslim dan sepakat terhadap permasalahan tersebut. Selain itu jika dilogikakan, bahwa ijma’ sharih yang harus disepakati oleh semua mujtahid yang hidup pada masa terjadinya ijma’ dan masing-masing mengemukakan pendapatnya serta menyetujui hukum yang ditetapkan, maka hal ini tidak mungkin terjadi karena biasanya ijma’ yang dikemukakan ulama’ berawal dari pendapat pribadi atau sekelompok mujtahid dan lainnya diam.
Lebih lanjut Abu Zahra menyatakan alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanfiyah dan Hanabilah:
-         Diamnya (sukut) para ulama tentang suatu hukum hasil ijtihad adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad tersebut, dan mempelajari hasil ijtihad ulama lain adalah suatu kewajiban bagi para ulama’ dan jika mereka diam saja maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya.
-         Adalah tidak layak jika ulama atau ahli fatwa tidak mendengar adanya fatwa lain, dan ulama lain harus mempelajarinya dan menanggapinya jika ada kesalahan dalam hasil ijtihadnya. Disamping itu, apabila para ulama’ lain yang tidak mengeluarkan fatwa menganggap fatwa itu menyimpang dari nash atau metode yang digunakan tidak sesuai dan mereka diam maka mereka berdosa.

Menurut Al-Karkhiy dari madzhab hanafiyah dan Al-Amidi dari madzhab syafi’iyah bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah dzanniyah.[4]

4.      Kemungkinan Terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur tentang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria:
a.       Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’.
b.      Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’i ataupun yang dzanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’i maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka.

5.      Kehujjaan Ijma’ menurut Pandangan Ulama’.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat terhadap kesesatan dan apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka menurut Allah juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi.
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijam’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.

a.       Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka itu menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Hal ini berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 115:
Artinya : ”Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu’min adalah hak dan wajib diikuti.

b.      Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’ sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’i yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’i atau dzanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qath’i seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qath’i karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.[5]

B.     KONTEKSTUALISASI  IJMA’
1.      Ijma’ Pada Masa Klasik
Sejarah tasyri’ Islam telah menorehkan tintanya bahwa ijtihad pernah terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan tidak seorangpun sahabat yang menafikan kenyataan itu. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Maimun bin Mahran bahwa jika khalifah Abu Bakar dan Umar dihadapkan dengan suatu pertentangan atau masalah, maka akan mencari jawabannya di dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi, dan jika tidak menemukan jawaban maka mereka akan memanggil dan mengumpulkan para tokoh kaum muslimin pada saat itu dan para ulama’ untuk diajak musyawarah, berijtihad dan mencari jawaban, dan hal ini juga dikatakan oleh al-Juwaini. Dan merupakan bukan hal yang meragukan lagi bahwa pada waktu itu tidak semua para ulama’ yang dikumpulkan, karena para ulama’ tidak dalam satu tempat tetapi tersebar di berbagai daerah seperti di Makkah, di Syam dan di Yaman dan jika menunggu keseluruhan para ulama’ terkumpul maka akan membutuhkan waktu yang  lama.[6]
Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang dilandaskan pada al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 23. Para ulama’ sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.[7]

2.      Ijma’ Pada Masa Modern
Salah satu hikmah yang dilimpahkan oleh Allah adalah bahwa Allah tidak menjadikan kandungan al-Qur’an berupa materi-materi yudisial yang terbatas  sebagaimna dunia matematika yang tidak memberi kemungkinan inovasi pemikiran kreatif (ijtihad).
Seiring perputaran yang terus-menerus dan perjalanan yang cepat, muncullah persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama terdahulu bahkan belum tersirat di benak para ulama’ salaf, sehingga hukum dan fatwa yang ditetapkan oleh ulama’ terdahulu tidak relevan lagi, dan hal inilah yang memotivasi untuk berijtihad lantaran berubahnya masa, tempat, adat dan kondisi serta keadaan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.[8]
Para cendekiawan Islam (ulama) banyak berbeda pendapat dalam menentukan terminologi konsensus (Ijma’). Perbedaan pendapat mereka, menurut Dr. Umar Sulaiman al-Asyqor, dilandaskan oleh dua hal: Pertama, Penentuan para personal yang mempunyai validitas untuk berkonsensus (dianggap konsensusnya). Kedua, Penentuan corak permasalahan-permasalahan yang dianggap dalam consensus.[9] Terlepas dari perdebatan soal terminologisnya, ia disepakati (al-Muttafaq Alaih) sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits.
Dari posisinya yang ketiga tersebut, konsensus memiliki peran signifikan & kuat dalam pengambilan hukum-hukum Islam. Apalagi ia diakui terbebas dari kekeliruan (Ma’shumun An il-Khothoi) dan kesesatan, berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW: “Umatku tidak berkonsensus dalam kesesatan” (HR. Ahmad & at-Thabarani).
Konsepsi konsensus dimulai sejak era sahabat (ash-Shahabah) setelah wafatnya Rasulullah saw. Hal itu terjadi dengan sistem syura ketika terdapat permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an dan Hadits. Sistem syura tersebut tak lain adalah mirip dengan sistem ijtihad kolektif yang diterapkan oleh forum-forum ijtihad kolektif kontemporer. Karena menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhayli, jika ijtihad dilakukan dengan sistem kolektif maka ia adalah konsensus (Ijma’), namun jika dilakukan secara individual maka ia adalah silogisme (Qiyas).[10]
Para ulama’ sepakat bahwa ijma’ merupakan dasar pengambilan hukum setelah al-Qur’an dan hadits Nabi, namun dalam aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada masa sekarang. Padahal zaman sekarang ini permasalahan umat semakin kompleks dan membutuhkan jawaban instant dan cepat, jika ijma’ tidak dapat dilakukan maka penyelesaian permasalahan akan mengalami kemandegan. Sebagaimana yang menjadi pembicaraan akhir-akhir ini, permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan metode ijtihad secara kolektif atau bermusyawarah sejumlah mujtahid, dan mungkin saja cara ini dapat menggantikan posisi ijma’. Ijma’ sangat kental dengan yang namanya ijtihad, dan jika memang ijma’ tidak mungkin dilakukan pada masa kini maka bukan berarti ijtihad juga tertutup, tetapi ijtihad akan lebih akurat jika dilakukan dengan sistem musyawarah dan bertukar pikiran diantara orang-orang yang memiliki kemampuan yang lebih dalam agama atau yang disebut ijtihad kolektif.

B.     IJTIHAD KOLEKTIF SEBUAH TAWARAN BARU
1.      Definisi Ijtihad Kolektif
Kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Muslim dewasa ini, ijtihad tidak boleh dilakukan secara parsial tetapi hendaknya ijtihad dilakukan dengan komprehensif dengan melihatkan pakar dalam ilmu pengetahuan yang terkait. Menurut Yusuf Qardhawi ada dua metode yang tepat dan cocok digunakan dalam menghadapi era globalisasi ini, yaitu:
 pertama, ijtihad intiqa’i (tarjih) dengan mengambil pendapat terkuat para ulama’ terdahulu kemudian mneyeleksi yang paling kuat dalilnya dan lebih relevan dengan keadaan sekarang.
Kedua, ijtihad insya’i, pengambilan kesimpulan baru dari persoalan dan belum pernah dikemukakan oleh ulama’ terdahulu. Sehubungan dengan ijtihad insya’i ini, agar pelaksanaannya efektif dan menghasilkan suatu hukum yang dapat menyelesaikan permasalahan  maka perlu digalakkan ijtihad kolektif (jama’i), karena dengan permasalahan yang kompleks serta dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang sehingga dalam menghadapi persoalan harus melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait. Apabila ijtihad fardhi dilaksanakan dalam melaksanakan ijtihad insya’i terhadap suatu kasus yang baru kemungkinan ijtihad yang dilakukan akan terdapat kekeliruan dan tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.[11]
Ijtihad kolektif (ijtihad al-jama’i), yaitu ijtihad yang dilakukan secara bersama atau musyawarah terhadap suatu masalah, dan pengamalan hasilnya menjadi tanggungjawab bersama, atau ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid dan hasil-hasilnya mendapat pengakuan dan persetujuan mujtahid lain. Jadi, ijma’ sebagai salah satu sumber hukum Islam merupakan hasil ijtihad kolektif. Ijtihad kolektif merupakan salah satu cara yang sering dilakukan oleh para sahabat ketika memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada penetapannya, baik dari Alqur’an maupun sunnah, seperti dalam cerita dialog antara Nabi Muhammad saw dengan & Ali ibn Abi Thalib di atas.[12]
Menurut asy-Syarafi, ijtihad kolektif sebuah upaya optimal dari mayoritas ahli fiqih untuk sampai pada sebuah hipotesa terhadap hukum syariat dengan cara menyimpulkan dan telah mencapai kesepakatan bersama atau mayoritas dari mereka semua setelah mengadakan tukar pendapat untuk menentukan suatu hukum.[13] Tujuannya adalah untuk meneliti berbagai problematika modernitas dan berbagai hal yang dibutuhkan umat, sehingga mereka sepakat terhadap hal-hal yang dipandang dapat menghasilkan kemaslahatan.[14]
Dengan demikian, jelaslah ijtihad kolektif yang tercermin dalam bentuk musyawarah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam upaya pembinaan dan pelestarian hukum Islam, dengan berupaya mengantisipasi segala permasalahan secara bersama-sama, terutama dalam mengahadapi kasus-kasus besar dalam dunia ekonomi, politik, dan kedokteran melalui pelibatan spesialis atau expert disiplin ilmu lain yang dibutuhkan dengan permasalahan yang dihadapi, sehingga hasilnya akan lebih valid, kredibel, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Namun demikian, penggunaan ilmu bantu yang diperlukan itu harus ada batasan, yang memerlukan kajian serius untuk membuat standar dan sekaligus formulasi penggunaan ilmu dalam prosedur ijtihad itu, agar tidak menimbulkan dampak negatif yang kontraproduktif.
Menurut Dr. Ahmad Bu’ud, ijtihad kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektif (ijtihâd jama’îy). Kebutuhan ijtihad kolektif didasari oleh realita dan problematika masyarakat yang komplikatif, yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh individu perorangan saja, walaupun orang tersebut memiliki kapabilitas. Maka keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu, mutlak diperlukan di era kontemporer ini. Terpahami,  bahwa keberadaan ijtihad kolektif ini akan tercermin dalam sebuah aktifitas musyawarah (syûrâ). Dari sinilah titik temu (problem solving) dari sebuah permasalahan akan ditemukan.
Inilah yang disebut ijtihad, dimana syarat-syarat para mujtahid yang disebutkan terpenuhi di dalamnya. Mereka berijtihad  membahas problematika umat, masing-masing dengan argumentasi dan dalil-dalil yang didasarkan pada nash-nash wahyu dan maqashid as-syâri’ah. Juga bisa kita sebut sebagai musyawarah (syûra), karena di dalamnya mampu menampung komunitas tertentu yang bersama-sama membahas dan memusyawarahkan permasalahan. Usaha seorang mujtahid dan ijtihadnya tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad kolektif sebelum terealisasikan dalam sebuah  aktifitas musyawarah. Musyawarah tersebut pun tidak bisa terwujud kecuali dengan dihadiri oleh para mujtahid yang memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid serta memiliki kapabilitas dan keahlian di bidangnya masing-masing.

2.      Syarat-syarat Ijtihad Kolektif
Sebagaimana konsep ijtihad yang telah ada, begitu juga dengan ijtihad kolektif yang mana di dalamnya juga diatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi. Para mujtahid yang ada dalam ijtihad kolektif juga harus memenuhi persyaratan yang ada dalam mujtahid, seperti Islam, taklif, adil, memahami al-Qur’an dan sunah, memahami bahasa Arab, memahami ushul fiqh, memahami esensi tujuan syari’at, memahami masalah yang sudah jadi ijma’ dan memahami situasi masanya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Abdul Wahab Kholaf bahwa ijtihad yang didasarkan pada pendapat satu kelompok tidak akan diterima, kecuali bila setiap anggota kelompok itu telah memenuhi syarat-syarat dan kapasitas profesionalisme ijtihad.
Namun ada hal-hal lain yang ada dalam ijtihad kolektif,  anggota lembaga ijtihad kolektif cukup seorang mujtahid juz’I  buka seorang mujtahid mutlaq. Mujtahid mutlaq adalah orang yang mampu melakukan ijtihad dalam seluruh bab fikih dan berbagai permasalahannya. Sedangkan mujtahid juz’i yaitu orang yang memiliki cukup ilmu yang membuatnya mampu untuk melakukan ijtihad dalam sebagian cabang ilmu saja namun tidak pada sebagian yang lain. Salah satu alasan mendesaknya kebutuhan terhadap ijtihad kolektif yang membolehkan hanya dengan mujtahid juz’i adalah karena ijtihad ini adalah karena ijtihad ini berposisi menggantikan peran mujtahid mutlak yang untuk masa sekarang sulit ditemukan.
Dan ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam ijtihad kolektif bahwa dalam lembaga tersebut bahwa dalam kurung tersebut terdapat sejumlah anggota yang tidak disyaratkan harus memenuhi syarat-syarat ijtihad, tetapi mereka adalah para ahli dan pakar dalam bidangnya yang akan membantu para mujtahid merkeka hanya memberikan deskripsi, menjelaskan serta memberikan devinisi yang tegas bagi permasalahan yang di ijtihadi. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam memahami permasalahan secara cermat dan benar kemudian menyimpulkan hukum syar’i yang sesuai.[15]


BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas kita simpulkan bahwa sumber-sumber hukum syara’ (Mashodir Al-tasyri’ Al-muttafaq alaih) itu ada tiga yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma’. Ijma’ merupakan kesepakatan seluruh para mujtahid pada suatu masa yang mengistinbath hukum dengan cara berkumpul dan bermusyawarah untuk menjawab permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya baik dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa ijma’ sharih tidak mungkin dilaksanakan karena tidak mungkin mengumpulkan semua mujtahid di seluruh belahan dunia yang hidup dalam suatu masa. Jika memang ijma yang setingkat sharih tidak bisa dilakukan dengan permasalahan yang semakin kompleks maka tidak mungkin para mujtahid diam saja tanpa melakukan sesuatu apapun.
Dan perlu ditekankan bahwa ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problem dan permasalahan baru dalam masyarakat yang tidak ditemukan pada kitab-kitab klasik. Ijtihad yang dilakukan secara individu dirasa kurang mampu menjawab permasalahan yang semakin kompleks, maka dengan bergabungnya para mujtahid dalam suatu lembaga ijtihad kolektif akan dapat menyelesaikan persoalan dengan mendekati kebenaran. Pada dasarnya menurut penulis antara ijtihad kolektif dengan ijma’ tidak jauh berbeda, hal ini dapat dilihat metodologi dalam pengistimbatan hukum.


DAFTAR PUSTAKA


Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)

Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005)

Abdul Majid Asy-Syarafi, Ijtihad Kolektif terjemah Syamsuddin TU (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002)

Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya) (Surabaya: Risalah Gusti, 2000),

Sulaiman Abdullah Al-Asyqor dan Umar, Nadzaratun Fi Ushul il-Fiqhi (Yordania: Daar un-Nafais)

Wahbah Az-Zuhayli, Ushul ul-Fiqh il-Islami, jilid 1 (Damaskus-Suriah: Daar ul-Fikr)

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia,Tinjauan dari aspek Metodologis, Legalisasi dan Yurisprudensi (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007)




[1] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 51-52.
[2] I b I d. ,53.
[3] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 129.
[4] Nasrun Haroen,. Op Cit., 56-59.
[5] Syamsul Hadi, “Ijma’ sebagai Hukum Ketiga dalam Islam”, dalam internet website: http://www.hadi_rukkiyah’s.com diakses tanggal 23 Oktober 2009 pukul 10:22 WIB.
[6] Abdul Majid Asy-Syarafi, Ijtihad Kolektif terjemah Syamsuddin TU (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002),  14-16.
[7] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 127-128.
[8] Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya) (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 6.
[9] Sulaiman Abdullah Al-Asyqor dan Umar, Nadzaratun Fi Ushul il-Fiqhi (Yordania: Daar un-Nafais), 12.
[10] Wahbah Az-Zuhayli, Ushul ul-Fiqh il-Islami, jilid 1 (Damaskus-Suriah: Daar ul-Fikr), 486-487.
[11] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia,Tinjauan dari aspek Metodologis, Legalisasi dan Yurisprudensi (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), 173-175.
[12] Hasan Bisri, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Telaah atas Ijtihad Fardi dan Jama’i, ditulis oleh Administrator, Friday, 31 October 2008.
[13] Abdul Majid Asy-Syarafi, Ijtihad Kolektif terjemah Syamsuddin TU (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), 12.
[14] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam …., 175.
[15] Abdul Majid Asy-Syarafi, Ijtihad Kolektif terjemah Syamsuddin TU (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002),  44-46.

No comments:

Post a Comment