MAKALAH TENTANG FILSAFAT


KATA PENGANTAR

BISM.TIF
            Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kami kesehatan dan juga kesempatan sehingga makalah yang telah kami susun ini telah selesai. Tidak lupa pula salawat beriringan salam kita hanturkan atas pangkuan nabi kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kebodohan sampai ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat ini.

            Dan kami ucapkan terima kasih kepada Dosen kami yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Sebelumnya, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari yang dibutuhkan. Kemungkinan besar, banyak atau tidaknya kesalahan dalam pengetikan makalah ini, karena kami masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu, kami harapkan kritik dan sarannya yang bersifat kontruktif. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Amin.














DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii

BAB I      PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB II    PEMBAHASAN
A.  Pengertian Filsafat................................................................................... 2
B.   Filsafat Helenisme................................................................................... 10
C.  Filsafat Sebagai Ilmu Pengetahuan........................................................... 11

BAB III    PENUTUP
A.        Kesimpulan……………………………………………………... 16
B.        Saran……………………………………………………………. 16

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 17















BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Filsafat
·        Filsafat secara etimologi
Kata filsafat, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam bahasa Inggris dengan istilah Philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai “cinta kearifan”.[1] Kata tersebut juga berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) atau philos yang berarti mencintai,menghormati, menikmati, dan Sophia atau sofein yang artinya kehikmatan, kebenaran, kebaikan, kebenaran atau kebijaksanaan.[2]Jadi arti menurut namanya saja : cinta kepada kebijaksanaan.

Dalam bahasa Belanda didapati perkataan “Wijsbegeerte”. Wijs, berarti cakap, pandai atau bijaksana. Begeerte, adalah nama benda atau pekerjaan. Begeren, mengandung arti “menghendaki sekali” atau “ingin sekali”. Jadi “Wijs begeerte” berarti :”kemauan yang keras untuk mendapatkan kecakapan seseorang yang bijaksana”, yang biasanya dinamakan “Wijs” (orang yang bijaksana).[3]

Orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan dengan tabiat susunan kata-kata Arab, yaitu falsafa dengan pola fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Dengan demikian, kata benda dari kata kerja falsafa dan filsaf. Dalam bahasa Indonesia, banyak tepakai kata filsafat. Ini kelihatannya bukan berasal dari kata bahasa Arab, falsafah dan bukan dari kata Barat, philosophi. Apakah fil diambil dari kata Barat dan safah dari kata Arab sehingga terjadilah  gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat. Dengan demikian, maka philosophia (Yunani) berarti cinta kepada pengetahuan atau hikmah (cinta dalam kebijaksanaan orang yang cinta kepada pengetahuan disebut “philosophos” atau failasuf dengan ucapan Arabnya). Pencinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, orang yang mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.

Menurut catatan sejarah, kata ini pertama kali digunakan oleh Pythagoras, seorang filosof Yunani yang hidup pada 582-496 SM. Cicero (106-43 SM), seorang penulis Romawi terkenal pada zamannya yang sebagian karyanya masih dibaca pada zaman sekarang, mencatat bahwa kata “filsafat” dipakai Pythagoras sebagai reaksi terhadap kaum cendekiawan pada masanya yang menamakan dirinya ‘ahli pengetahuan’. Pythagoras menyatakan bahwa pengetahuan itu begitu luas dan begitu berkembang. Tiada seorang pun yang mungkin mencapai ujungnya apalagi menguasainya. Jadi, jangan sombong menjuluki diri kita ‘ahli’ dan ‘menguasai’ ilmu pengetahuan, apalagi kebiaksanaan. Paling tinggi kita ini, kata Pythagoras, yang banyak menyusun dan menemukan rumus-rumus ilmu yang jitu dan diakui hingga zaman modern, adalah pencari dan pecinta pengetahuan dan kebijaksanaan yakni filosofis.

Jelas sekarang dalam konteks bagaimana kata ini pertama kali muncul. Apa yang dimaksudkan Pythagoras. Walaupun bagaimanapun, diabaikan dan diselewengkan oleh banyak pihak terutama oleh kaum ‘sophist’ (seakan merekalah yang paling tahu dan bijaksana) yang mempergunakan kefasihan bahasa dan keahlian bersilat lidah untuk meyakinkan masyarakat dan merebut pengaruh atau bahkan memprovokasi massa untuk berbuat demi kepentingan si provokator.

Yang lebIh dikenal mempergunakan kata ini untuk suatu pencarian kebijaksanaan adalah filosof terkenal Socrates (470-399 SM). Socrates tidak saja terkenal karena pemikirannya yang brilian, tetapi lebih karena ia banyak mengajukan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya kepada siapa saja yang dijumpainya membuat banyak orang bertanya-tanya sebagian orang menjadi lebih arif, lebih sadar diri, lebih pintar, tetapi ada yang merasa disudutkan dan dicemoohkan. Oleh sebagian penguasa dan tokoh masyarakat, pertanyaan-pertanyaan Scocrates dianggap berbahaya, subversif dan provokatif. Pertanyaannya yang menyadarkan banyak membuat generasi muda menjadi ragu terhadap status quo, murtad dan memberontak.

Ia, filosof sang penyadar ini, kemudian diadili dan dijatuhi hukuman mati, bukan ditembak atau digantung, tetapi dengan minum racun. Ketika tidak ada yang tega menyodorkan piala berisi racun kepadanya, ia rela menegaknya sendiri demi menunjukkan bahwa ia filosof yang agung, seorang yang cinta kebijaksanaan dan benci kemunafikan dan kejahilan (seharusnya kita bersyukur karena tidak harus berkorban seperti Scocrates untuk bisa cinta ilmu-kebijaksanaan dan benci kemunafikan-kejahilan).
   
·        Filsafat secara Terminologi
Berdasarkan hasil telaah, sejak zaman Yunani Kuno sampai dengan sekarang, pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang demikiannya. Hasbullah bakry telah mencatat beberapa definisi ilmu filsafat dari filosof-filosof terkenal baik di Barat dan Timur.
a.       Plato ( 427-348 SM ). Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang murni (asli).
b.      Aristetoles ( 382-322 SM ). Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafatkeindahan).
c.       Alfarabi ( 870-950 M ). Filsuf muslim tersebar sebelum Ibn Sina, mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
d.      Descates ( 1590-1650 M ). Mendefinisikan filsafat sebagai kumpulan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
e.       Immanual Kant ( 1724-1804 M ). Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan.
Sepatutnya, kita memberikan catatan mengenai penggunaan istilah ilmu atau ilmu pengetahuan untuk pengertian umum filsafat. Saat ini, filsafat dan ilmu atau ilmu pengetahuan merupakan dua hal berbeda. Sedikit penjelasan dapat dikemukakan, bahwa sebelum tahun 1500-an, semua wacana disebut filsafat, setidaknya di Yunani. Orang yang sedang berbicara tentang ilmu bumi atau masalah jual beli pun disebut sedang berfilsafat. Karena pada dasarnya adalah mencari kebenaran. Setelah zaman filsafat modern yang dipelopori Descartes dan John Locke terdapat perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan.

Selanjutnya di bawah ini kita kemukakan pula beberapa definisi filsafat menurut tokoh-tokoh kita yang berkecimpung dalam lapangan filsafat sebagai berikut:
a.       Hasbullah bakri merumuskan filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam, semesta alam, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekat ilmu filsafat dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana seharusnya sikap manusia setelah mencapai pengetahuan itu.
b.      I.R Poedjaewijatna menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang mencapai sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan yang mungkln ada.
c.       W.M. Bakker SY. Menyatakan filsafat adalah refleksi rasionil (fikr, nazhar, ma’rifat, ra’yu) atas keseluruhan keadaan untuk mencapai hakekat dan memperoleh hikmah.

Dari sekian banyak definisi yang dikemukakan di atas pada prinsipnya tidaklah bertentangan satu dengan yang lainnya, bahkan dapat dilkatakan sama, hanya saja terdapat perbedaan dalam cara penekanannya/mengesahkannya.
Pada dasarnya mereka mengemukakan bahwa dalam filsafat pembahasannya meliputi manusia, Tuhan dan alam, dan bagaimana hakekat yang sebenarnya dari manusia, Tuhan dan alam tersebut.

Menurut  Suhar, dari definisi-definisi ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.      Definisi itu pada umumnya mengandung pengertian yang subyektif, yaitu apa yang kita artikan sendiri lepas dari pengertian orang lain, jadi masing-masing orang bias mempunyai pengertian sendiri tentang filsafat.
2.      Pengertian yang operasional, yaitu pengertian-pengertian tentang perbuatan-perbuatan yang dijalankan dengan berfilsafat. Sebab kalau kita berfilsafat mungkin ada masalah-masalah yang menarik seseorang, tetapi tidak menarik pada orang lain. Masalah ini menyebabkan  keragu-raguan, dan keraguan ini harus dijawab dengan studi yang khusus. Studi ini disebut filsafat.
3.      Pengertian yang obyektif yaitu pengrertian yang berlaku dan diterima oleh umum dimana saja dan oleh siapa saja.

Secara praktis, filsafat dapat diartikan dalam beberapa bentuk berikut:
a.       Filsafat berarti ilmu yang menyelidiki fakta-fakta prinsip-prinsip dari kenyataan (reality) dan dari tabiat dan tingkah laku manusia.
b.      Filsafat dewasa, ini diartikan ilmu yang meliputi Logika, Etika, Estetika, Matafisika dan ilmu pengetahuan (Epistemologi).
c.       Filsafat kadang-kadang diartikan pula suatu sikap terhadap aktifitas seseorang.

Lebih jauh, Hasbullah Bakry memberikan arti praktis dari filsafat. Ia menyatakan bahwa filsafat adalah alam berfikir atau alam fikiran. Berfilsafat berarti berfikir. Meskipun begitu tidak semua berfikir berarti filsafat. Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan dengan sungguh-sungguh.

Senada dengan Hasbullah Bakry, Langeveld, mengatakan bahwa filsafat adalah suatu perbincangan mengenai segala hal, sekalian alam secara sistematis sampai ke akar-akarnya. Apabila dirumuskan kembali, filsafat adalah suatu wacana atau perbincangan mengenai segala hal secara sistematis sampai konsekuensi terakhir dengan tujuan menemukan hakekatnya.

Dalam hal segi pengertian praktis filsafat ini, Harun Nasution menyatakan bahwa intisari filsafat adalah berfikir mrnurut tata tertib (logika) dengan batas ( tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar persoalan. Dengan demikian, cara-cara berfikir yang dapat dimaksudkan dalam kategori berfilsafat jauh lebih luas dari apa yang kadang-kadang umum dipakai dalam kehidupan sehari-hari, misalnya setiap orang yang hidup berarti berfilsafat (ini tidak dapat dibenarkan).

Lebih lanjut, M. Nasroen menyatakan bahwa filsafat itu adalah sebuah corak usaha manusia, dalam dia menghadapi, memecahkan dan menundukkan masalah yang mengenai ada dalam hidupnya, yaitu yang akan memberikan kepuasan bagi dirinya. Filsafat itu adalah ciptaan dari manusia itu, sebagai suatu kesatuan tetap dalam filsafat ini, maka tenaga pikiran yang ada pada manusia itulah yang mengambil inisiatif dan mempunyai peranan utama. Tetapi dalam hal ini bukanlah semata-mata pikiran iti saja yang bertindak, sebab yang bertindak itu tetap manusia sebagai satu kesatuan, yang berfilsafat itu adalah manusia bukan pikiran. Selanjutnya dengan filsafat itu, manusia akan berusaha mencapai tujuan yang telah ditentukannya. Maka dengan demikian, filsafat itu harus dapat dilaksanakan. Kalau tidak, tentulah filsafat itu adalah khayalan, mainan pikiran saja dan akan tidak mungkin membuahkan hasil yang nyata bagi manusia itu.

Jelaslah sudah bahwa filsafat itu tidak hanya sebagai semboyan saja tanpa penyelidikan/pembahasan yang sungguh-sungguh, filsafat menggunakan rasio sebagai alat untuk tujuan kebahagiaan manusia dan bukanlah manusia diperalat oleh rasio.[4]
·        Metode dalam Filsafat
1.      Metode historis/ sejarah
Metode ini baik karena dengan demikian pertumbuhan filsafat itu dapat diikuti dari jumlahnya. Akan tetapi harus agak panjang untuk penulaannya dan bisa menimbulkan kesalahpahaman.
2.      Metode Ikhtisar
Metode ini membentuk soal-soal yang dibicarakan dalam filsafat dan menguraikan jawaban.
3.      Metode Sistematis
Metode ini mencari arti serta maksud dari kodrat manusia yaitu bagaimana manusia karena kodratnya akan penyelidikan yang biasanya disebut filsafat itu lalu dicari akibat-akibatnya
4.      Metode Kombinasi
Metode ini adalah kombinasi dari cara-cara tersebut yaitu sistematis, tetapi tidak lepas dari sejarah dan dengan memperhatikan soal-soal terpenting yang timbul bagi setiap manusia yang hidup sadar dan mampu menggunakan pikirannya.[5]

B.     Filsafat Helenisme
Filosofi Yunani setelah Aristetoles disebut dengan filsafat Helenisme. Helenisme adalah suatu istilah untuk menyebut suatu masa sesudah zaman Aristoteles. Helenisme yang berasal dari kata helenizein berbahasa Yunani dan juga menjadikan Yunani adalah karena terjadinya imperialis menyatukan seluruh dunai Yunani ke dalam kerajaan Macedonia yang dilakukan oleh Alexander Agung, murid Aristoteles. Dengan timbilnya kerajaan Roma yang mencakup dunia Yunani, Asia Minor dan sebagian dari dunia Arab, proses saling mempengaruhi peradaban masing-masing itu makin luas lingkungannya.

Dalam perkembangan masa Helenisme ini ditandai dengan perubahan bentuk filsafat dari filsafat teoritis menjadi filsafat praktis dan membuat filsafat menjadi bagian dari seni hidup. Berbagai aliran yang muncul pada saat itu yang semuanya bertujuan untuk menentukan cita-cita hidup manusia. Keinginan memperoleh pengetahuan teori semakin beralih kepada ilmu-ilmu spesial. Makin mendalam penyelidikan ini dan makin tampak gunanya bagi penghidupan sehari-hari, akan tetapi orang makin acuh tak acuh terhadap teori-teori metafisika umum.

Pada masa ini, aliran-aliran etis yang menekankan pada persoalan-persoalan tentang kebijaksanaan hidup yang praktis disamping itu juga ada aliran-aliran yang diwarnai pemikiran keagamaan. Jadi, secara garis besarnya sifat filsafat sesudah Aristoteles atau pada masa Helenisme dapat dibagi menjadi dua, masa Etik dan masa Religi. Yang termasuk  aliranyang bersifat Etis diantaranya adalah aliran Stoa, Epikorus, dan Skeptis. Sedangkan yang termasuk aliran yang diwarnai agama diantaranya adalah filsafat Neo-Pythagoras, filsafat Plotinus Tengah, filsafat Yahudu dan Neoplatonisme.

·        Aliran  Stoa
Sekolah Stoa didirikan oleh Zeno dari Kriton yang lahir pada tahun 340 SM dan meninggal pada tahun 264 SM. Profesi Zeno, pada awalnya, sebagai seorang saudagar yang suka berlayar dan pada suatu ketika kapalnya pecah ditengah laut, jiwanya tertolong tetapi hartanya sama sekali dan akhirnya ia meninggalkan pekerjaan sebagai peagang dan beralih mempelajari filsafat.

Dalam waktu yang cukup lama Zeno belajar filsafat di Kynia dan Magaria dan kemudian memutuskan untuk belajar pada salah satu akademi dibawah pimpinan Xinoxrates seorang murid Plato yang terkenal. Setelah menamatkan pendidikannya, ia mendirikan sekolah sendiri dengan menempati suatu ruangan indah penuh ukiran. Kata Stoa dalam bahasa Greek berarti ruang dan kata Stoa dipakai sebagai nama sekolahnya. Zeno sebagai pendiri  aliran ini mempunyai gaya hidup yang mirip Sokrates dan ia mendapat penghormatan dalam kehidupan masyarakat Athena.

Ajaran Zeno banyak mendasarkan pendapatnya pada teori atom Demokritos. Zeno lebih suka mengambil ajaran Heraklitos sebagai sendi teorinya.
Kaum Stoa membagi filosofi dalam tiga bagian, yaitu logika, fisika, dan etik. Logika dan fisika umumnya dipergunakan sebagai dasar etik. Maksud dari pada etiknya ialah memberi petunjuk tentang sikap sopan santun dalam penghidupan. Menurut pendapat mereka, tujuan yang terutama dari segala filosofi ialah menyempurnakan moral manusia. Diantara para pengikut aliran Stos adalah Marcus, Efectetus, dan lainnya.[6]

C.     Filsafat Sebagai Ilmu Pengetahuan
Keberadaan filsafat sebagai ilmu sejalan dengan pengertian filsafat itu sendiri mengandung beberapa hal yang berbentuk pertanyaan ilmiah, yaitu apa, mengapa, kemana, dan bagaimana. Kata bagaimana merupakan pertanyaan tentang sifat-sifat yang dapat ditangkap atau dapat dibuktikan dengan panca indra dan pada umumnya dipahami melalui hokum sebab akibat. Pengetahuan yang muncul akibat dari pertanyaan dimaksud bersifat deskriptif atau penggambaran apa adanya. Sedangkan pertanyaan mengapa pada dasarnya menanyakan tentang sebab atau usal muasal suatu objek yang kemudian melahirkan pengetahuan yang bersifat kausalitas.

Disamping itu, pertanyaan kemana hakekatnya menanyakan tentang sesuatu yang telah terjadi baik pada masa lalu, masa sekarang maupun akan datang. Pertanyaan ini akan mengakibatkan munculnya tiga macam pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang timbul dari hal yang bersifat kebiasaan (berulang-ulang) dan pengetahuan itu kemudian dapat dijadikan pedoman atau dijadikan titik tolak untuk mengetahui berbagai hal yang akan terjadi. Kedua, pengetahuan yang lahir dari pedoman yang terkandung dalam adat istiadat/kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Ketiga, Pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai sebagai hukum bagi suatu peristiwa yang dijadikan pegangan. Dengan kata lain, pengetahuan yang didapatkan dari jawaban “kemanakah” tergolong pengetahuan yang bersifat normatif.

Sementara pertanyaan “apakah” bersifat pertanyaan tentang hakekat atau subtansi suatu hal. Hakekat sifatnya sangat mendalam (radix), bukan lagi bersifat empiris dan hanya dapat dipahami oleh akal. Pengetahuan yang diperoleh dari jawaban ini akan dapat mengetahui hal-hal yang sifatnya sangat umum, universal dan abstrak.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu selain filsafat bertolak dari tidak mengetahui, sedangkan filsafat bergerak dari tahu menjadi lebih tahu dan selanjutnya mengetahui hakekat. Untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat hakekat, harus didahului dengan abstraksi, berupa tindakan akal untuk menghilangkan keadaan dan sifat-sifat yang secara kebetulan sifat-sifat yang tidak harus ada/aksidensia, sehingga akhirnya tinggal keadaan/sifat yang harus ada secara mutlak atau subtansia, maka pengetahuan hakekat dapat diperolehnya.[7]

·        Filsafat dan ilmu pengetahuan
Apakah hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan? Oleh Louis Kattsoff dikatakan: Bahasa yang pakai dalam filsafat dan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling melengkapi. Hanya saja bahasa yang dipakai dalam filsafat mencoba untuk berbicara mengenai ilmu pengetahuan, dan bukanya di dalam ilmu pengetahuan. Namun, apa yang harus dikatakan oleh seorang ilmuwan mungkin penting pula bagi seorang filsuf. Pada bagian lain dikatakan: Filsafat dalam usahanya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pokok yang kita ajukan harus memperhatikan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam usahanya menemukan rahasia alam kodrat haruslah mengetahui anggapan kefilsafatan mengenai alam kodrat tersebut.

Filsafat mempersoalkan istilah-istilah terpokok dari ilmu pengetahuan dengan suatu cara yang berada di luar tujuan dan metode ilmu pengetahuan. Dalam hubungan ini Harold H. Titus menerangkan: Ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi yang faktual dan deskriptif, yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat. Banyak ilmuwan yang juga filsuf. Para filsuf terlatih di dalam metode ilmiah, dan sering pula menuntut minat khusus dalam beberapa ilmu sebagai berikut:
1.      Historis, mula-mula filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana juga filsuf identik dengan ilmuwan.
2.      Objek material ilmu adalah alam dan manusia. Sedangkan objek material filsafat adalah alam,manusia dan ketuhanan.[8]
Secara umum perbedaan antara filsafat dengan ilmu yaitu: Ilmu berhubungan dengan lapangan yang terbatas, filsafat mencoba berhubungan dengan keseluruhan pengalaman untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih komprehensif tentang sesuatu.
1.      Ilmu menggunakan pendekatan analitis dan deskriptif, sedangkan filsafat sintesis dan sinopsis, berhubungan dengan sifat-sifat dan kualitas alam dan hidup secara keseluruhan.
2.      Ilmu menganalisis keseluruhan menjadi bagian-bagian, dari organisme menjadi organ-organ, filsafat mencoba membedakan sesuatu dalam bentuk sintesis yang menjelaskan dan mencari makna sesuatu secara keseluruhan.
3.      Ilmu menghilangkan faktor-faktor pribadi yang subyektif sedangkan filsafat tertarik kepada personalitas, nilai-nilai dan semua pengalaman.
4.      Ilmu tertarik kepada hakikat sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan filsafat hanya tertarik kepada bagian-bagian yang nyata, melainkan juga kepada kemungkinan-kemungkinan yang ideal dari suatu benda, nilai dan maknanya.
5.      Ilmu meneliti alam, mengontrol proses alam sedangkan tugas filsafat mengadakan kritik, menilai dan mengkoordinasikan tujuan.
6.      Ilmu lebih menekankan pada deskripsi hukum-hukum fenomenal dan hubungan kausal. Filsafat tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan pertanyaan “why” dan “how”.[9]
·        Bedanya filsafat dengan ilmu-ilmu lain.
1) Filsafat menyelidiki, membahas, serta memikirkan seluruh alam kenyataan, dan menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain. Jadi ia memandang satu kesatuan yang belum dipecah-pecah serta pembahasanya secara kesuluruhan. Sedangkan ilmu-ilmu lain atau ilmu vak menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini, misalnya ilmu hayat membicarakan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia; ilmu bumi membicarakan tentang kota, sungai, hasil bumi dan sebagainya.
2) Filsafat tidak saja menyelidiki tentang sebab-akibat, tetapi menyelidiki hakikatnya sekaligus. Sedangkan ilmu vak membahas tentang sebab dan akibat suatu peristiwa.
3) Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana asalnya, dan hendak ke mana perginya. Sedangkan ilmu vak harus menjawab pertanyaan bagaimana dan apa sebabnya. Sebagian orang menganggap bahwa filsafat merupakan ibu dari ilmu-ilmu vak. Alasannya ialah bahwa ilmu vak sering menghadapi kesulitan dalam menentukan batas-batas lingkungannya masing-masing. Misalnya batas antara ilmu alam dengan ilmu hayat, antara sosiologi dengan antropologi. Ilmu-ilmu itu dengan sendirinya sukar menentukan batas-batas masing-masing. Suatu instansi yang lebih tinggi, yaitu ilmu filsafat, itulah yang mengatur dan menyelesaikan hubungan dan perbedaan batas-batas antara ilmu-ilmu vak tersebut.

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari sebab-sebab terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri. Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek atau lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal itu. Jadi berarti ada metode, ada sistem, ada satu pandangan yang dipersatukan (memberi sintesis), dan yang dicari ialah sebab-sebabnya.

Demikian filsafat mempunyai metode dan sistem sendiri dalam usahanya untuk mencari hakikat dari segala sesuatu, dan yang dicari ialah sebab-sebab yang terdalam. Ilmu-ilmu pengetahuan dirinci menurut lapangan atau objek dan sudut pandangan. Objek dan sudut pandangan filsafat disebut juga dalam definisinya, yaitu "segala sesuatu". Lapangan filsafat sangat jelas; ia meliputi segala apa yang ada. Pertanyaan-pertanyaan kita itu mengenai kesemuanya yang ada, tak ada yang dikecualikan. Hal-hal yang tidak kentara pun (seperti jiwa manusia, kebaikan, kebenaran, bahkan Tuhan sendiri pun) dipersoalkan.

Sebab-sebab yang terdalam Dengan ini ditunjuk sudut pandangan, aspek khusus, sudut khusus yang dipelajari dalam segala sesuatu itu. Sudut pandangan (juga disebut "object formal") ini yang membedakan berbagai ilmu pengetahuan yang mengenai objek atau lapangan yang sama. Misalnya ilmu kedoktoran mempelajari manusia dilihat dari sudut tubuhnya yang sakit dan harusnya disembuhkan, sosiologi mempelajari manusia dalam sudut kemasyarakatan.

 Demikianlah filsafat mempelajari dalam segala sesuatu itu ialah keterangan yang penghabisan, yang terakhir, dan terdalam, sampai habis, sampai pada sebab yang terakhir. Yang kita cari ialah kebijaksanaan, hakikat dari seluruh kenyataan, intisari dan esensi dari semua yang ada. Kekuatan pikiran manusia sendiri Dengan ini ditunjuk alat yang kita gunakan dalam usaha kita untuk mencapai kebijaksanaan itu, yaitu pikiran kita sendiri. Ini membedakan filsafat dari teologi (ilmu ke-Allahan) yang juga mengenai segala sesuatu, tetapi yang berdasarkan wahyu Tuhan. Filsafat tidak berdasarkan wahyu Tuhan, tidak meminta pertolongan dari Kitab Suci, tetapi berdasarkan asas-asas dan dasar-dasarnya hanya dengan cara analisis-analisis oleh pikiran kita sendiri. [10]

           






















BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Kata filsafat, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam bahasa Inggris dengan istilah Philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai “cinta kearifan”.
Pada dasarnya mereka mengemukakan bahwa dalam filsafat pembahasannya meliputi manusia, Tuhan dan alam, dan bagaimana hakekat yang sebenarnya dari manusia, Tuhan dan alam tersebut.
Secara umum perbedaan antara filsafat dengan ilmu yaitu: Ilmu berhubungan dengan lapangan yang terbatas, filsafat mencoba berhubungan dengan keseluruhan pengalaman untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih komprehensif tentang sesuatu.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari sebab-sebab terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri. Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek atau lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal itu. Jadi berarti ada metode, ada sistem, ada satu pandangan yang dipersatukan (memberi sintesis), dan yang dicari ialah sebab-sebabnya.

B.     Saran
Kami berharap mahasiswa/I cotkala khususnya dapat memahami antara metologi, filsafat, serta ilmu pengetahuan. Mungkin dengan sedikit pemabahasan dari makalah ini dapat membantu mahasiswa/I khususnya dalam memahami tentang ilmu tersebut. Dan seiring itu juga kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca agar makalah kami kedepannya bisa lebih sempurna. Sekian dan terimakasih.


DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro., Filsafat Umum, ed.1, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

syafieh, M. M.Phil.I dan Fahmi Arrauf, Ismail, MA., Filsafat Umum Sebuah Penga ntar, Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Ya’qub, Dr. H.Hamzah, Filsafat Agama Titik Temu Akal dengan Wahyu, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.


http://Kuliahfilsafat.blogspot.com


[1] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, ed.1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 1
[2] M.syafieh, M.Phil.I dan Ismail Fahmi Arrauf, MA, Filsafat Umum Sebuah Penga ntar, (Bandung: Citapustaka Media Perintis), hlm. 6
[3] Dr. H.Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm. 2-3
[4] M.syafieh, M.Phil.I dan Ismail Fahmi Arrauf, MA,…, hlm. 6-11.
[5] www.wordpress.com
[6] M.syafieh, M.Phil.I dan Ismail Fahmi Arrauf, …,hlm. 74-75.
[7] M.syafieh, M.Phil.I dan Ismail Fahmi Arrauf, …, hlm. 32-33
[8] http://Kuliahfilsafat.blogspot.com
[10] http://Kuliahfilsafat.blogspot.com

No comments:

Post a Comment