METODOLOGI PEMAHAMAN ISLAM DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Didalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat didalam sumber ajarannya, al-quran dan hadist, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, dengan senantiasa mengembangkan kepedulian social, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan sikap-sikap positif lainnya.[1]
Gambaran ajaran Islam yang demikian ideal itu pernah dibuktikan dalam sejarah dan manfaatnya dirasakan oleh seluruh umat manusia di dunia. Namun, kenyataan Islam sekarang menampilkan keadaan yang jauh dari cita ideal tersebut. Ibadah yang dilakukan umat Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya hanya berhenti pada sebatas membayar kewajiban dan menjadi lambing keshalehan, sedangkan buah dari ibadah yang berdimensi kepedulian social sudah kurang tampak.
Sekarang, mungkin sudah saatnya kita mengembangkan indikasi keberagaman yang agak berbeda dengan yang kita miliki selama ini. Meningkatnya jumlah orang mengunjungi rumah-rumah ibadah, berduyun-duyunnya orang pergi haj, dan sering munculnya tokoh-tokoh dalam acara social agama, sebenarnya barulah indikasi permukaan saja dalam masyarakat kita.indikasi semacam ini tidak menerangkan  tentang perilaku keagamaan yang sesungguhnya, dimana nilai-nilai keagamaan menjadi pertimbangan utama dalam berfikir maupun bertindak oleh individu maupun social.
BAB II
METODOLOGI PEMAHAMAN ISLAM
DI INDONESIA

Sejak kedatangan Islam pada abad ke-14 M. hingga saat ini, fenomena pemahaman keislaman umat Islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan amat variatif. Kita misalnya melihat adanya sejumlah orang yang pengetahuannya tentang keislaman cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan tidak tersusun secara sistematik. Selanjutnya kita melihat pula ada orang yang penguasaannya terhadap salah satu bidang keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami disiplin ilmu keislaman lainnya. Dari beberapa contoh tentang pemahaman keislaman diatas, kita dapat memperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat  masih bercorak parsial, belum utuh dan belum pula komprehensif.
Apabila Islam dipelajari sebagian saja dari ajarannya, apalagi yang bukan pokok ajaran, dan dalam bidang-bidang masalah khilafiyah, maka tentulah pengetahuannya tentang Islam seperti yang dipelajarinya, yaitu sebagian kecil dari masalah dalam Islam dan yang bukan pokok. Lebih dari itu seseorang mungkin skeptic atau ragu terhadap Islam dengan adanya hal-hal yang tampaknya mengandung antagonism, pertentangan. Pemahaman Islam secara parsial akan membawa akibat seperti hikayat pengenalan dari empat orang buta terhadap gajah. Bagi mereka yang kebetulan memegang ekornya berpendapat bahwa gajah itu panjang seperti cambuk. Bagi mereka yang memegang kakinya berkata bahwa gajah itu ibarat pohon kelapa, dan yang kebetulan memegang telinganya mengatakan bahwa gajah itu lembek dan lebar, tetapi yang kebetulan memegang perutnya memahami gajah itu laksana barang tergantung yang besar. [2]




A.     STUDI ISLAM
Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantic dan apologis. Sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan , kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.[3] Sementara studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktikkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya secara murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang aqidah, ibadah, membaca al-quran dan hadist.
Untuk memahami Islam secara benar ini, Nasruddin Razak mengajukan empat cara, yaitu:
1.      Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu Al-quran dan Al-Sunnah Rasulullah
2.      Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat tidak secara sebagian saja.[4]
3.      Islam perlu dipelajaridari kepustakaan yang ditulis oleh Ulama Besar, kaum Zu’amma dan sarjana-sarjana Islam, karena pada umumnya bmereka memiliki pemahaman Islam yang baik, yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Al-quran dan Sunnah Rasulullah dengan pengalaman yang indah dari praktik ibadah yang dilakukan setiap hari.
4.      Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normative teologis yang ada dalam Al-quran, baru kemudian dihubungakan dengan kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat.

Metode lain untuk memahami Islam yang diajukan Mukti Ali adalah metodologi tipologi. Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topic dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Selanjutnya, untuk memahami Islam dapat dilakukan dengan memahami kitab sucinya. Metode berikutnya dalam memahami Islam dengan mempelajari pribadi Muhammad bin Abdullah. Karena tidak ada seorang pun dalam sejarah umat manusia yang mempunyai peranan yang begitu besar seperti Nabi Muhammad.
Metode selanjutnya untuk memahami islam adalah dengan meneliti suasana dan situasi dimana Nabi Muhammad bangkit. Dari uraian tersebut kita melihat bahwa metode yang digunakan dapat untuk memahami Islam secara garis besar ada dua macam, yaitu:
1.      Metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya, dengan cara demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang objektif dan utuh.
2.      Metode sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, objektif, kritis dan seterusnya dengan metode teologis normatif.

B.     MEMAHAMI AGAMA-AGAMA DI INDONESIA DALAM KONTEKS KERUKUNAN
Sering kali istilah kerukunan mengandung pengertian bahwa kondisi social hubungan antar penganut agama telah mengalami pertentangan atau konflik. Secara politis, konflik dapat diatasi. Salah satunya adalah melalui upaya rekonsiliasi antar penganut umat beragama di Indonesia. Upaya-upaya politis untuk meredam terjadinya konflik memang pernah dilakukan. Akan tetapi, upaya untuk “menyadarkan” bahwa tiap-tiap agama membawa misi perdamaian dan keselamatan umatnya sering kali terabaikan. Kesadaran merupakan nilai universal dan hakiki yang dimiliki oleh setiap manusia.
Oleh karena itu, proses “rukun” melalui upaya penyadaran dalam beragama dapat dilakukan melalui upaya penyamaan visi, pemahaman dan kesadaran terhadap eksistensi agama-agama, yaitu setiap agama secara esensial memiliki nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh tiap-tiap pihak yang berbeda keyakinan. Melarang berbuat jahat dan mengharuskan berbuat baik adalah salah satu nilai universal yang diajarkan oleh semua agama.
Dalam konteks hubungan antaragama, istilah rekonsiliasi  paling tidak memberikan kesan atau pemahaman bahwa kehidupan beragam di Indonesia tidak harmonis dan sering menimbulkan konflik. Disebut “tidak harmonis” sebab kehidupan beragama yang selama ini damai, berdampingan, saling memahami, menghargai dan menghormati satu sama lain terganggu oleh factor-faktor tertentu, terutama oleh situasi kehidupan ekonomi social , cultural, dan politik tempat-tempat agama itu hidup berkembang.[5]
Factor-faktor itu dapat diketahui paling tidak bahwa akar permasalahan terjadinya konflik antar umat beragama adalah tidak adanya kesadaran beragama yang bersumberkan dari ketidaktahuan atau kekurangpahaman terhadap agamanya sendiri, terlebih agama orang lain.
Nilai esensial tindakan manusia beragama akan muncul jika memiliki “kesadaran beragama”. Setiap manusia tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan keagamaan tanpa disadari oleh adanya kesadaran untuk melakukan tindakan-tindakan agama. Kesadaran beragama muncul dari pengetahuan, pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan melakukan intropeksi, re-evaluasi dan relevansi tindakan-tindakan keagamaan dengan lingkungan sekitarnya. Apalah artinya pengetahuan tanpa kesadaran ataupun sebaliknya. Orang yang dipandang kalangan awam tidak memiliki pengetahuan atau intelektualitas cemerlang dan menjalankan ritus secara alakadarnya tidak mempunyai tingkat spiritualitas yang tinggi.
Pandangan seperti itu tidak selamanya benar. Sosok seorang petani, misalnya, yang kesadaran eksistensial sebagai petani, bukan tidak mungkin lebih religious daripada sosok mahasiswa aktivis dakwah atau misi yang berteriak kesana kemari menyuarakan perdamaian, tetapi menyimpan rasa ingin dipuji. Inilah barangkali yang dikemukakan oleh Schoun[6] bahwa dikarenakan agama lebih menekankan pada iman (faith), kebajikan dan pengalaman ketimbang akal (rasio), manusia memiliki jiwa abadi untuk diselamatkan tanpa harus menjadi pandai. Sebaliknya tidak setiap saat pandai dapat diselamatkan.
Disinilah, kita akan melihat bahwa kerukunan tidak ada artinya kalau tidak didasari oleh pengetahuan, penghayatan dan kesadaran agama, apalagi jika hanya mengandalkan pendekatan-pendekatan kelembagaan formal dan seremonial belaka, tanpa melihat nilai-nilai universal yang melekat pada diri manusia, seperti saling menyayangi, menghormati, cenderung pada nilai-nilai kebenaran, memahami dan menyadari perbedaan dan sebagainya.
Oleh karena itu perlu pengkajian ulang terhadap konsep kerukunan antar umat beragama yang selama ini diterapkan pemerintah. Ia tidak lagi hanya sebagai bungkus formal dari kenyataan pluralitas agama di Indonesia, tetapi harus menjadi motivator bagi terbentuknya kesadaran beragama dan berteologi di Indonesia. Jika tidak, konflik antar agama tidak dapat terhindarkan dan akan selalu meledak. Apabila hal ini terjadi,sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik aspek politis maupun social budaya akan hancur. Dengan demikian, kesadaran beragama dapat menjadi modal dasar menuju kerukunan antarkepenganutan agama. Yang menjadi tuntutan kita bukanlah sekedar pengetahuan agama, tetapi jauh dari itu adalah menanamkan kesadaran beragama. Sebab, menurut pemahaman saya, kesadaran ini menjadi nilai yang hakiki dari kemanusiaan universal.

C.     PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
1.      Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia
Ada dua factor utama yang menyebabkan Indonesia mudah dikenal oleh bangsa-bangsa lain, khususnya oleh bangsa-bangsa di Timur Tengah dan Timur jauh sejak dahulu kala, yaitu:
a)      Factor letak geografisnya yang strategis. Indonesia berada di persimpangan jalan Raya Internasional dari jurusan Timur Tengah menuju Tiongkok, melalui lautan dan jalan menuju benua Amerika dan Australia.
b)      Factor kesuburan tanahnya yang menghasilkan bahan-bahan keperluan hidup yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lain, misalnya: rempah-rempah

Oleh karena itu, maka tidak mengherankan jika masuknya Islam di Indonesia ini terjadi tidak terlalu jauh dari zaman kelahirannya. Harus dibedakan antara datangnya orang Islam yang pertama di Indonesia dengan permulaan penyiaran Islam di Indonesia.
Ilmu sejarah memerlukan bukti-bukti yang otentik tentang permulaah masuknya Islam di Indonesia, sehingga sampai sekarang masih mengalami kesulitan-kesulitan yang prinsip, antara lain:
a)      Buku-buku sejarah Indonesia banyak ditulis oleh orang-orang Belanda pada zaman pemerintah Belanda menjajah Indonesia. Ada dua macam keberatan terhadap buku-buku tersebut. Pertama, penulisnya adalah orang-orang yang tidak senang kepada Islam dan kepada bangsa Indonesia. Kedua, masa penyelidikannya sudah lama sehingga sudah ketinggalan waktu, yakni sudah ada bukti-bukti lain yang dikemukakan oleh penulis belanda. Namun demikian kita tidak boleh apriori menolak semua pendapat dari mereka.
b)      Buku-buku sejarah yang ada sering mengemukakan bukti berupa cerita rakyat yang hidup dan dipercayai oleh orang banyak sejak dahulu sampai sekarang.

2.      Pendidikan Zaman Kerajaan
Dilaporkan oleh Batutah dalam bukunya Rihlah Ibn Batutah bahwa ketika ia berkunjung ke samudra pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja mengadakan halaqah  setelah shalat jumat sampai waktu Ashar. Dari keterangan itu di duga kerajaan Samudera Pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai Negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.
Dengan demikian, Samudra Pasai merupakan studi Islam yang paling tua yang dilakukan oleh sebuah kerajaan, sementara itu, untuk luar kerajaan, halaqag  ajaran Islam yang dilakukan oleh kerajaan Islam diduga dilakukan di koloni-koloni tempat pedagang Islam berdatangan di pelabuhan-pelabuhan. Proses halaqah ajaran Islam yang dilakukan di masjid istana bagi anak-anak pembesar Negara,di masjid-masjid lain, mengaji di rumah guru dan surau-surau unruk masyarakat umum. Dari halaqah semacam itu nanti berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam.[7]

3.      Pendidikan Islam pada Zaman Kerajaan
a.      Pendidikan Zaman Belanda
Penaklukan bangsa Barat atas Indonesia dimulai dengan bidang perdagangan, kemudian dengan kekuatan militer. Kedatangan mereka memang membawa kemajuan teknologi tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahan.[8] Begitu pula dalam bidang pendidikan, Barat tak hanya memperkenalkan system dan metode baru, tetapi juga untuk  menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah rendah. Apa yang mereka sebut pembaruan pendidikan sebenarnya adalah westernisasi dan kristenisasi. Motif inilah yang mewarnai kebijakan pemerintah Belanda di Indonesia.

b.      Pendidikan Zaman Jepang
Jepang menjajah Indonesia setelah mengalahkan Belanda dalam Perang Dunia II pada tahun 1942 dengan semboyan Asia Timur Raya atau Asia untukAsia. Pada masa awalnya pemerintah Jepang seakan-akan membela kepentingan Islam sebagai siasat untuk menenangkan perang. Untuk menarik dukungan rakyat Indonesia, pemerintah Jepang membolehkan didirikannya sekolah-sekolah agama dan pesantren-pesantren yang terbebas dari pengawasan Jepang. Maksud dari pemerintah Jepang adalah agar kekuatan umat Islam dan nasionalis bias diarahkan untuk kepentingan memenangkan perang yang dipimpin oleh Jepang.

c.       Pendidikan Zaman Kerajaan
Setelah merdeka, pendidikan Islam mulai mendapat kedudukan yang sangat penting dalam system pendidikan nasional. Di Sumatera, Mahmud Yunus sebagai pemeriksa agama pada kantor pengajaran mengusulkan kepada kepala pengajaran agar pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah di tetapkan dengan resmi dan guru-guru di gaji seperti guru-guru umum dan usul pun di terima.
Sekolah agama termasuk madrasah,ditetapkan sebagai model dan sumber Pendidikan nasional yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945. Eksistensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan Nasional dituangkan dalam Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950, bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Mentri Agama di anggap telah memenuhi kewajiban belajar.[9]

4.      Akselarasi Perkembangan Islam pada tempatnya
Diantara agama-agama yang besar di dunia ini adalah Yahudi, Nasrani, Islam, Hindu dan Budha. Tetapi yang paling luas dan paling banyak pengikutnya adalah Nasrani dan Islam. Hal tersebut tentu berhubungan dengan usaha penyiarannya oleh para pemeluknya. Pengembangan dan penyiaran agama Islam termasuk paling dinamis dan cepat dibandingkan dengan agama-agama lainnya. Hal alat komunikasi dan transportasi yang sepadan. Catatan sejarah telah membuktikan bahwa Islam dalam waktu 23 tahun dari kelahirannya sudah menjadi tuan di negerinya sendiri, yaitu Jazirah Arabia.
Akselarasi dan dinamika penyebaran Islam tersebut disebabkan adanya factor-faktor khusus yang dimiliki oleh Islam pada periode permulaannya. Faktor-faktor positif itu antara lain ialah:
a)      Factor ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam, baik bidang Aqidah, syariah dan akhlaknya nudah dimengerti oleh semua lapisan
b)      Factor tempat kelahiran Islam yaitu Jazirah Arabia[10]

D.    DEFINISI UMMAT ISLAM DAN PEMIMPIN ISLAM
di Indonesia sekarang ini, paling tidak ada lima cara dalam mendefenisikan ummat Islam[11], yaitu :
1.      Sebagai himpunan orang yang menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama islam.
2.      Sebagai himpunan orang yang sudah menjalankan ritus-ritus keagamaan atau upacara-upacara ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
3.      Ummat islam adalah himpunan orang yang memiliki pengetahuan yang memadai atau lebih dari itu tentang ajaran-ajaran islam. Diduga jumlah mereka sangat kecil, kalau tidak dapat dikatakan minoritas.
4.      Ummat Islam adalah himpunan orang yang berusaha mengatur perilakunya ditengah-tengah masyarakat sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
5.      Ummat Islam adalah himpunan orang Islam yang terlihat secara ideologis dengan ajaran Islam.

Sedang Ummat Islam belum mempunyai definisi yang sama dengan pemimpin Islam. Karena itu setiap golongan mempunyai menunjuk pemimpin mereka hanya pada orang-orang yang sesuai dengan  definisi mereka. Salah satu tugas pemimpin ialah menetapkan definisi situasi bersama (shared definition of situation), memberikan makna yang sama pada situasi tertentu. Dari definisi yang sama akan lahir satu program yang dipatuhi oleh semua Islam.[12]


BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Apabila Islam dipelajari sebagian saja dari ajarannya, apalagi yang bukan pokok ajaran, dan dalam bidang-bidang masalah khilafiyah, maka tentulah pengetahuannya tentang Islam seperti yang dipelajarinya, yaitu sebagian kecil dari masalah dalam Islam dan yang bukan pokok. Studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktikkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya secara murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang aqidah, ibadah, membaca al-quran dan hadist.
Factor utama yang menyebabkan Indonesia mudah dikenal oleh bangsa-bangsa lain, khususnya oleh bangsa-bangsa di Timur Tengah dan Timur jauh sejak dahulu kala, yaitu:
1.      Factor letak geografisnya yang strategis. Indonesia berada di persimpangan jalan Raya Internasional dari jurusan Timur Tengah menuju Tiongkok, melalui lautan dan jalan menuju benua Amerika dan Australia.
2.      Factor kesuburan tanahnya yang menghasilkan bahan-bahan keperluan hidup yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lain, misalnya: rempah-rempah

B.     SARAN
Demikianlah makalah yang dapat kami selesaikan. Kami sadari makalah ini masih jauh dari yang dibutuhkan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan sarannya. Agar kami dapat memperbaikinya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Sekian dan terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA

Fadhil Al-Jamali, Menerobos Krisis Pendidikan Dunia Islam, (terj) H.M. Arifin, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1992)

Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1977)

Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas, (Yogyakarta: 1996)

H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)

Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, (Bandung: Pustaka Setia)

Frithjof Schoun, Islam dan Filsafat Perenial, terjemahan rahmani Astuti, Mizan, Bandung, 1993

Musyrifah Sunarto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007)

Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara)

Amien Rais, ed, Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1986)


[1] Fadhil Al-Jamali, Menerobos Krisis Pendidikan Dunia Islam, (terj) H.M. Arifin, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1992), cet. II, hlm. 11-21
[2] Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1977), cet. I, hlm. 49-50
[3] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas, (Yogyakarta: 1996), cet. I, hlm. 106.
[4] H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal.155
[5] Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, (Bandung: Pustaka Setia), hlm. 14
[6] Frithjof Schoun, Islam dan Filsafat Perenial, terjemahan rahmani Astuti, Mizan, Bandung, 1993, hlm. 78
[7] Musyrifah Sunarto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), Ed. 1, hlm. 105
[8] Musyrifah Sunarto, . . . , hlm.  118
[9] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: 1995), hlm. 246
[10] Zuhairini, . . . , hlm. 128
[11] Amien Rais, ed, Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1986), ed. 1, cet. 2. Hlm. 41
[12] Amien Rais, ed,. . ., hlm. 45

No comments:

Post a Comment