MAKALAH KOMPLIKASI PERSALINAN KALA III




Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya penyusun diberi kesehatan sehingga makalah yang berjudul “komplikasi persalinan kala III” dapat selesai dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
            Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah obsetri, dimana sumber materi disadur dari buku-buku yang relevan guna menunjang keakuratan materi yang nantinya akan di sampaikan.
            Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih kepaada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.


                                                            Palangka Raya,  Maret 2011


                                                       



MAKALAH KOMPLIKASI PERSALINAN KALA III & KALA IV
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Tingginya angka kematian ibu dan anak umumnya akibat ahli kebidanan atau bidan terlambat mengenali, terlambat merujuk pasien ke perawatan yang lebih lengkap, terlambat sampai di tempat rujukan, dan terlambat ditangani.
Penanganan rujukan obstetri merupakan mata rantai yang penting, menjadi faktor penentu dari hasil akhir dari kehamilan dan persalinan. Kurang lebih 40% kasus di RS merupakan kasus rujukan. Kematian maternal di RS pendidikan 80-90% merupakan kasus rujukan. Kematian perinatal di RS pendidikan kurang lebih 60% berasal dari kelompok rujukan.
Oleh karena itu bidan wajib mempelajari materi ini untuk dapat mencegah dan menangani langsung komplikasi-koplikasi yang mungkin terjadi pada persalinan kala III.

1.2. Tujuan
1.      Mengetahui macam-macam komplikasi persalinan kala III.
2.      Mengetahui pengertian, jenis, gejala, tanda-tanda dan cara mencegah atonia uteri.
3.      Mengetahui pengertian, jenis, gejala, tanda-tanda dan cara penanganan retensio plasenta.
4.      Mengetahui pengertian, jenis, gejala, tanda-tanda, dan cara penanganan perlukaan jalan lahir.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Komplikasi Persalinan
2.1.1. Atonia Uteri
       Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
 Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi.

Batasan: Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan plasenta lahir.

Penyebab :
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor predisposisi (penunjang ) seperti :
1. Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi.
2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
3. Multipara dengan jarak kelahiran pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi.
6. Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus.

Gejala Klinis:
1.    Uterus tidak berkontraksi dan lunak
2.    Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3).

Pencegahan atonia uteri.
Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala III, yaitu pemberian oksitosin segera setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi 10U IM, atau 5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-20 U perliter Intravenous drips 100-150 cc/jam.
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi.
Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.Oksitosin mempunyai onset yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti preparat ergometrin.

Masa paruh oksitosin lebih cepat dari Ergometrin yaitu 5-15 menit.
Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan sebagai pencegahan perdarahan postpartum.


2.1.2. Retensio Plasenta
       Definisi keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam setelah bayi lahir.

Epidemiologi
16-17 % dari kasus perdarahan postpartum

Penyebab
1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya :

a. Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
b. Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium sampai ke miometrium.
c. Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
d. Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim.

2. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).

Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya.
Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu keduanya harus dikosongkan.

Penegakan diagnosis
Plasenta belum lahir selama 1jam setelah bayi lahir.
Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.

Berdasarkan penyebab perdarahan postpartum

1. Atoni uteri (50-60%).
2. Retensio plasenta (16-17%).
3. Sisa plasenta (23-24%).
4. Laserasi jalan lahir (4-5%).
5. Kelainan darah (0,5-0,8%).
Penatalaksanaan

Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta dilakukan apabila plasenta belum lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi lahir terlebih lagi apabila disertai perdarahan.

Tindakan penanganan retensio plasenta :

1. Memberikan informasi kepada ibu tentang tindakan yang akan dilakukan
2. Mencuci tangan secara efektif
3. Melaksanakan pemeriksaan umum
4. Mengukur vital sign,suhu,nadi,tensi,pernafasan
5. Melaksanakan pemeriksaan kebidanan
a.inspeksi, b.palpasi, c.periksa dalam
6. Memakai sarung tangan steril
7. Melakukan vulva hygiene
8. Mengamati adanya gejala dan tanda retensio plasenta
9. Bila placenta tidak lahir dalam 30 menit sesudah lahir,atau terjadi perdarahan sementara placenta belum lahir,maka berikan oxytocin 10 IU IM.
pastikan bahwa kandung kencing kosong dan tunggu terjadi kontraksi,kemudian coba melahirkan plasenta dengan menggunakan peregangan tali pusat terkendali
10. Bila dengan tindakan tersebut placenta belum lahir dan terjadi perdarahan banyak,maka placenta harus dilahirkan secara manual
11. Berikan cairan infus NACL atau RL secara guyur untuk mengganti cairan

Manual plasenta :

1. Memasang infus cairan dekstrose 5%.
2. Ibu posisi litotomi dengan narkosa dengan segala sesuatunya dalam keadaan suci hama.
3. Teknik : tangan kiri diletakkan di fundus uteri, tangan kanan dimasukkan dalam rongga rahim dengan menyusuri tali pusat sebagai penuntun.
Tepi plasenta dilepas – disisihkan dengan tepi jari-jari tangan – bila sudah lepas ditarik keluar. Lakukan eksplorasi apakah ada luka-luka atau sisa-sisa plasenta dan bersihkanlah. Manual plasenta berbahaya karena dapat terjadi robekan jalan lahir (uterus) dan membawa infeksi

Komplikasi
Perdarahan menyebabkan syok hemoragik yang berakibat pada kematian.Retensio Plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir . (Prawirohardjo,2002)


Jenis-jenis retensio Plasenta :

1. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miomentrium.
3. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/memasuki miomentrium.
4. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yng
menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
5. Plasenta inkaserata adalah tertahannya plasenta didalam kavum uteri,
disebabkan oleh kontriksi ontium uteri.

2.1.3. Robekan / Perlukaan Jalan Lahir
   1.  Pengertian Robekan Jalan Lahir
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.
Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
a.         Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan anus, panjangnya kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999). Jaringan yang terutama menopang perinium adalah diafragma pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari muskulus levator ani dan muskulus koksigis di bagian posterior serta selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk otot yang lebar bermula dari permukaan posterior ramus phubis superior, dari permukaan dalam spina ishiaka dan dari fasia obturatorius.
Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar vagina dan rektum, membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya, pada persatuan garis tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan garis tengah di bawah rektum dan pada tulang ekor.
Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma urogenital terdiri dari muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus konstriktor uretra dan selubung fasia interna dan eksterna (Cunningham, 1995).
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999).

Luka perinium, dibagi atas 4 tingkatan :

Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perinium
Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani
Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum

Umumnya terjadi pada persalinan karena :

1.      Kepala janin terlalu cepat lahir
2.      Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3.      Jaringan parut pada perinium
4.      Distosia bahu

Tanda dan Gejala yang selalu ada :

1.      Pendarahan segera
2.      Darah segar yang mengalir segera setelah bayi hir
3.      Uterus kontraksi baik
4.      Plasenta baik

Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada

1.      Pucat
2.      Lemah
3.      Menggigil

b.          Rupture Uteri
Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum abdomen.
Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akiat dilampauinya daya regang mio metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik.
Ruptura uteri termasuk salahs at diagnosis banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah, diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai kandung kemih dan organ vital di sekitarnya. Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1.      Ruptur Uteri Gravidarum adalah rupture yang terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.
2.      Ruptur Uteri Durante Partum adalah rupture yang terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak.

Ruptur uteri dapat dibagi menurut beberapa cara :
1.      Menurut lokasinya:

2.      Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ), miemoktomi
3.      Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya
4.      Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsipal atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap
5.      Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina

2.      Menurut robeknya peritoneum

1.      Rupture uteri Kompleta : robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya ( perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis
2.      Rupture uteri Inkompleta : robekan otot rahim tanpa ikut robek peritoneumnya. Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke ligamen latum


3.      Menurut etiologinya

Ruptur uteri spontanea menurut etiologinya dikarenakan dinding rahim yang lemah dan cacat, bekas seksio sesarea, bekas miomectomia, bekas perforasi waktu keratase.


Pembagian rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :
1. Ruptur uteri kompleta
a. Jaringan peritoneum ikut robek
b. Janin terlempar ke ruangan abdomen
c. Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen
d. Mudah terjadi infeksi

2.       Ruptura uteri inkompleta

a. Jaringan peritoneum tidak ikut robek
b. Janin tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen
c. Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
d. Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma



BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
3.1.1.      Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan plasenta lahir. Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor predisposisi (penunjang ) seperti :
a.       Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi.
b.      Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
c.       Multipara dengan jarak kelahiran pendek
d.      Partus lama / partus terlantar
e.       Malnutrisi.
f.       Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus.
Gejala Klinis:
                                    a.      Uterus tidak berkontraksi dan lunak
                                    b.      Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3).
3.1.2.      Definisi retensio plasenta keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam setelah bayi lahir. Penyebabnya adalah karena plasenta belum terlepas dari dinding rahim dan melekat serta tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya :
a. Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
b. Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium sampai ke miometrium.
c. Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
d. Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim.
3.1.4.   Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
a.  Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika. Luka perinium, dibagi atas 4 tingkatan :

Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perinium
Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani
Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum.
  Umumnya terjadi pada persalinan karena :
1.         Kepala janin terlalu cepat lahir
2.         Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3.         Jaringan parut pada perinium
4.         Distosia bahu

  Tanda dan Gejala yang selalu ada :
1.         Pendarahan segera
2.         Darah segar yang mengalir segera setelah bayi hir
3.         Uterus kontraksi baik
4.         Plasenta baik

  Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada
1.         Pucat
2.         Lemah
3.         Menggigil

b. Rupture Uteri
Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum abdomen.
Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akiat dilampauinya daya regang mio metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik. Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1.         Ruptur Uteri Gravidarum adalah rupture yang terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.
2.         Ruptur Uteri Durante Partum adalah rupture yang terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak.
Pembagian rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :
a.    Ruptur uteri kompleta
a. Jaringan peritoneum ikut robek
b. Janin terlempar ke ruangan abdomen
c. Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen
d. Mudah terjadi infeksi
                                           
b.      Ruptura uteri inkompleta
a. Jaringan peritoneum tidak ikut robek
b. Janin tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen
c. Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
d. Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma

Menurut lokasinya:
1. Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ), miemoktomi
2. Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya
3. Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsipal atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap
4. Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina


3.2.Saran
Disini, kami yang menyusun makalah ini hanya mengambil bahan yang diperlukan dari beberapa buku sumber saja. Sehingga sangat kurang apabila dibandingkan dengan apa yang seharusnya pembaca terima.
Kami menyarankan supaya pembaca tidak hanya berpatokan pada makalah  kami ini saja untuk dijadikan bahan belajar. Alangkah baiknya bila para pembaca mencari bahan-bahan yang berkaitan dengan makalah kami ini pada buku sumber yang lain atau pada media lainnya.
Sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan para pembaca tentang Komplikasi Persalinan Kala III.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Nugroho, Taufan. Buku Ajar Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan. Nuha medika. Jogjakarta. 2010.
2.      Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri Jilid I. Buku kedokteran EGC.  Jakarta. 1998.
3.      Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri Jilid I. Buku kedokteran EGC.  Jakarta. 1998.


MAKALAH KOMPLIKASI PERSALINAN KALA IV



BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (Mochtar, 2002).
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup di luar uterus melalui vagina ke dunia luar. Persalinan normal atau persalinan spontan adalah bila bayi lahir dengan letak belakang kepala tanpa melalui alat-alat atau pertolongan istimewa serta tidak melukai ibu dan bayi, dan umumnya berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam (Wiknjosastro, 2002). Jadi persalinan adalah proses pengeluaran konsepsi yang telah cukup bulan melalui jalan lahir atau jalan lainnya, dengan bantuan atau tanpa bantuan. Macam-macam persalinan, yaitu :
·         Persalinan spontan : Persalinan yang berlangsung dengan kekuatan sendiri dan melalui jalan lahir
·         Persalinan buatan    : Persalinan yang dibantu dengan tenaga dari luar misalnya forcep
o    Persalinan anjuran  : Persalinan yang tidak dimulai sendiri, tetapi baru berlangsung setelah pemecahan ketuban, pemberian pitocyn / prostaglandin.
Persalinan kala IV dimulai setelah lahirnya plasenta sampai 1-2 jam setelah itu. Pemantauan pada kala IV: kelengkapan plasenta dan selaput ketuban  perkiraan pengeluaran darah, laserasi atau luka episiotomi pada perineum dengan perdarahan aktif. Keadan umum dan tanda-tanda vital ibu.Untuk mencegah perdarahan lebih lanjut.
1.      Rumusan Masalah
·         Asuhan Kala IV ?
·         Pemantauan Kala IV ?
·         Tanda Bahaya Kala IV ?
1.      Tujuan
·         Tujuan Umum
Mampu memahami secara menyeluruh tentang fisiologi kala IV dalam persalinan dan asuhan kebidanan yang diberikan pada Kala IV persalinan.
·         Tujuan Khusus
a. Dapat mengetahui batasan fisiologi Kala IV.
b. Dapat menjelaskan penyebab terjadinya Kala IV.
c. Dapat mengetahui yang dapat dilakukan pada pemantauan persalinan Kala IV.
d. Dapat mengetahui tanda bahaya Kala IV
BAB II
TINJAUAN TEORI
1.      PENGERTIAN
Kala I adalah Pembukaan Servik – 10 cm (lengkap), Kala II adalah Pengeluaran janin Kala III adalah Pengeluaran & pelepasan plasenta, Kala IVdari lahirnya uri selama 1 – 2 jam. Dan yang dimaksud dengan kala IV adalah 1-2 jam setelah pengeluaran uri atau plasenta atau bisa juga disebut dengan Fase 1-2 jam post partum unuk memantau keadaan ibu.
1.      ETIOLOGI
Sebab –sebab mulainya persalinan belum diketahui secara pasti. Banyak faktor yang memegang peranan dan bekerjasama sehingga terjadi persalinan. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab persalinan ialah :
1. Penurunan kadar progesterone. Progesterone menimbulkan relaksasi otot-otot rahim, sebaliknya estrogen meninggikan kerenggangan otot rahim. Selama kehamilan terdapat keseimbangan antara kadar progesterone dan estrogen di dalam darah, tetapi pada akhir kehamilan kadar progesterone menurun sehingga timbul his.
2. Teori oxytocin. Pada akhir kehamilan kadar oxytocin bertambah oleh karena itu timbul kontraksi otot-otot rahim.
3. Ketegangan otot-otot. Seperti halnya dengan kandung kencing dan lambung, bila dindingnya terenggang oleh karena isinya.
4. Pengaruh janin / fetal cortisol. Hypofise dan kelenjar suprarenal janin rupa-rupanya juga memegang peranan, oleh karena itu pada anenchepalus kehamilan sering lebih lama dari biasa.
5. Teori prostaglandin. Prostaglandin yang dihasilkan oleh desidua, disangka menjadi salah satu penyebab permulaan persalinan. Hasil dari percobaan menunjukkan bahwa prostaglandin F2 atau E2 yang diberikan secara intravena, intra dan ekstra amnial menimbulkan kontraksi myometrium pada setiap umur kehamilan. Hal ini juga disokong dengan adanya kadar prostaglandin yang tinggi baik dalam air ketuban maupun darah perifer pada ibu-ibu hamil sebelum melahirkan atau selama persalinan.
Kala IV adalah terjadi sejak plasenta lahir 1-2 jam sesudahnya,hal-hal ini yang perlu diperhatikan adalah kontraksi uterus sampai uterus kembali kebentuk normal.Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan rangsangan taktil (masase) untuk merangsang uterus berkontraksi baik dan kuat.perlu juga diperhatikan bahwa plasenta telah lahir lengkap dan tidak ada yang tersisa sedikitpun dalam uterus serta benar-benar dijamin tidak terjadi perdarahan lanjut.
1.      PATOFISIOLOGI
Plasenta Lahir dan 1-2 jam sesudahnya
Fisiologi Kala IV                   Pemantauan dan Evaluasi lanjut
a. Evaluasi uetrus; konsistensi,atonia                  a. Tanda Vital
b. Pemeriksaan Servik, Vagina, Periniun            b. Kontraksi Uterus
c. Lochea
d. Kandung Kemih
e. Perinium
f. Perkiraan darah yg hilang
Keadaan  ibu dan bayi




Evaluasi Uterus
Perlu diperhatikan bahwa kontraksi uterus mutlak diperlukan untuk mencegah terjadinya perdarahan dan pengembalian uterus kebentuk normal. Kontraksi uterus yang tidak kuat dan terus-menerus dapat menyebabkan terjadinya atonia uteri yang dapat mengganggu keselamatan ibu.Untuk itu evaluasi terhadap uterus pasca pengeluaran plasenta sangat penting untuk diperhatikan.
Untuk membantu membantu uterus berkontraksi dapat dilakukan dengan dengan masase agar uterus tidak menjadi lembek dan mampu berkontraksi dengan kuat. Setelah kelahiran plasenta, periksa kelengkapan dari plasenta dan selaput ketuban. Jika masih ada sisa plasenta dan selaput ketuban yang tertinggal dalam uterus akan mengganggu kontraksi uterus sehingga menyebabkan perdarahan.
Jika dalam waktu 15 menit uterus tidak berkontraksi dengan baik, maka akan terjadi atonia uteri. Oleh karena itu, diperlukan tindakan rangsangan taktil (massase) fundus uteri dan bila perlu dilakukan Kompresi Bimanual. Dapat diberikan obat oksitosin dan harus diawasi sekurang-kurangnya selama satu jam sambil mengamati terjadinya perdarahan post partum.
Pemeriksaan Servik, Vagina dan Perineum
Untuk mengetahui apakah ada tidaknya robekan jalan lahir, maka periksa daerah perineum, vagina dan vulva. Setelah bayi lahir, vagina akan mengalami peregangan, oleh kemungkinan edema dan lecet. Introitus vagina juga akan tampak terkulai dan terbuka. Sedangkan vulva bisa berwarna merah, bengkak dan mengalami lecet-lecet.
Segera setelah kelahiran bayi, serviks dan vagina harus diperiksa secara menyeluruh untuk mencari ada tidaknya laserasi dan dilakukan perbaikan lewat pembedahan kalau diperlukan. Servik, vagina dan perineum dapat diperiksa lebih mudah sebelum pelepasan plasenta karena tidak ada perdarahan rahim yang mengaburkan pandangan ketika itu.
Pelepasan plasenta biasanya terjadi dalam waktu 5-10 menit pada akhir kala II. Memijat fundus seperti memeras untuk mempercepat pelepasan plasenta tidak anjurkan karena dapat meningkatkan kemungkinan masuknya sel janin ke dalam sirkulasi ibu. Setelah kelahiran plasenta, perhatian harus ditujukan pada setiap perdarahan rahim yang dapat berasal dari tempat implantasi plasenta
Kontraksi uterus yang meengurangi perdarahan ini dapat dilakukan dengan pijat uterus dan penggunaan oksitosin. Kalau pasien menghadapi perdarahan nifas ( misalnya karena anemia, pemanjangan masa augmentasi oksitosin pada persalinan, kehamilan kembar, atau hidramnion) dapat diperlukan pembuangan plasenta secara manual.
Untuk mengetahui ada tidaknya trauma atau hemoroid yang keluar, maka periksa anus dengan rectal toucher. Laserasi dapat dikategorikan dalam :
1.      Derajat pertama: laserasi mengenai mukosa dan kulit perineum, tidak perlu dijahit.
2.      Derajat kedua: laserasi mengenai mukosa vagina, kulit dan jaringan perineum (perlu dijahit).
3.      Derajat ketiga: laserasi mengenai mukosa vagina, kulit, jaringan perineum dan spinkter ani.
4.      Derajat empat: laserasi mengenai mukosa vagina, kulit, jaringan perineum dan spinkter ani yang meluas hingga ke rektum. Rujuk segera.
Prinsip Penjahitan Luka Episiotomi/ Laserasi Perineum Indikasi Episiotomi
1.      Gawat janin
2.      Persalinan per vaginam dengan penyulit (sungsang, tindakan vakum ataupun forsep).
3.      Jaringan parut (perineum dan vagina) yang menghalangi kemajuan persalinan.
Tujuan Penjahitan
1.      Untuk menyatukan kembali jaringan yang luka.
2.      Mencegah kehilangan darah.
Keuntungan Teknik Jelujur
Selain teknik jahit satu-satu, dalam penjahitan digunakan teknik penjahitan dengan model jelujur. Adapun keuntungannya adalah :
v  Mudah dipelajari.
v  Tidak nyeri.
v  Sedikit jahitan.
Hal Yang Perlu Diperhatikan dalam melakukan penjahitan perlu diperhatikan tentang :
1.      Laserasi derajat satu yang tidak mengalami perdarahan, tidak perlu dilakukan penjahitan.
2.      Menggunakan sedikit jahitan.
3.      Menggunakan selalu teknik aseptik.
4.      Menggunakan anestesi lokal, untuk memberikan kenyamanan ibu.
Penggunaan Anestesi Lokal
·         Ibu lebih merasa nyaman (sayang ibu).
·         Bidan lebih leluasa dalam penjahitan.
·         Lebih cepat dalam menjahit perlukaannya (mengurangi kehilangan darah).
·         Trauma pada jaringan lebih sedikit (mengurangi infeksi).
·         Cairan yang digunakan: Lidocain 1 %.
Tidak Dianjurkan Penggunaan Lidocain 2 % (konsentrasinya terlalu tinggi dan menimbulkan nekrosis jaringan). Lidocain dengan epinephrine (memperlambat penyerapan lidocain dan memperpanjang efek kerjanya).
1.      D. PENATALAKSANAAN
Pemantauan Kala IV
Saat yang paling kritis pada ibu pasca melahirkan adalah pada masa post partum. Pemantauan ini dilakukan untuk mencegah adanya kematian ibu akibat perdarahan. Kematian ibu pasca persalinan biasanya tejadi dalam 6 jam post partum. Hal ini disebabkan oleh infeksi, perdarahan dan eklampsia post partum. Selama kala IV, pemantauan dilakukan 15 menit pertama setelah plasenta lahir dan 30 menit kedua setelah persalinan. Setelah plasenta lahir, berikan asuhan yang berupa :
1.      Rangsangan taktil (massase) uterus untuk merangsang kontraksi uterus.
2.      Evaluasi tinggi fundus uteri – Caranya : letakkan jari tangan Anda secara melintang antara pusat dan fundus uteri. Fundus uteri harus sejajar dengan pusat atau dibawah pusat.
3.      Perkirakan darah yang hilang secara keseluruhan.
4.      Pemeriksaan perineum dari perdarahan aktif (apakah dari laserasi atau luka episiotomi).
5.      Evaluasi kondisi umum ibu dan bayi.
6.      Pendokumentasian.
Penilaian Klinik Kala IV
No
Penilaian
1
Fundus dan kontraksi uterus
Rangsangan taktil uterus dilakukan untuk merangsang terjadinya kontraksi uterus yang baik. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan tingginya fundus uteri dan kontraksi uterus.
2
Pengeluaran pervaginam
Pendarahan: Untuk mengetahui apakah jumlah pendarahan yang terjadi normal atau tidak. Batas normal pendarahan adalah 100-300 ml.
Lokhea: Jika kontraksi uterus kuat, maka lokea tidak lebih dari saat haid
3
Plasenta dan selaput ketuban
Periksa kelengkapannya untuk memastikan ada tidaknya bagian yang tersisa dalam uterus.
4
Kandung kencing
Yakinkan bahwa kandung kencing kosong. Hal ini untuk membantu involusio uteri
5
Perineum
Periksa ada tidaknya luka / robekan pada perineum dan vagina.
6
Kondisi ibu
Periksa vital sign, asupan makan dan minum.
7
Kondisi bayi baru lahir
Apakah bernafas dengan baik?
Apakah bayi merasa hangat?
Bagaimana pemberian ASI?

Diagnosis
No
Kategori
Keterangan
1
Involusi normal
Tonus – uterus tetap berkontraksi.
Posisi – TFU sejajar atau dibawah pusat.
Perdarahan – dalam batas normal (100-300ml).
Cairan – tidak berbau.
2
Kala IV dengan penyulit
Sub involusi – kontraksi uterus lemah, TFU diatas pusat.
Perdarahan – atonia, laserasi, sisa plasenta / selaput ketuban.
Bentuk Tindakan Dalam Kala IV
Tindakan Baik: 1) Mengikat tali pusat; 2) Memeriksa tinggi fundus uteri; 3) Menganjurkan ibu untuk cukup nutrisi dan hidrasi; 4) Membersihkan ibu dari kotoran; 5) Memberikan cukup istirahat; 6) Menyusui segera; 7) Membantu ibu ke kamar mandi; 8 ) Mengajari ibu dan keluarga tentang pemeriksaan fundus dan tanda bahaya baik bagi ibu maupun bayi.
Tindakan Yang Tidak Bermanfaat: 1) Tampon vagina – menyebabkan sumber infeksi. 2) Pemakaian gurita – menyulitkan memeriksa kontraksi. 3) Memisahkan ibu dan bayi. 4) Menduduki sesuatu yang panas – menyebabkan vasodilatasi, menurunkan tekanan darah, menambah perdarahan dan menyebabkan dehidrasi.



Pemantauan Lanjut Kala IV
Hal yang harus diperhatikan dalam pemantauan lanjut selama kala IV adalah :
1.      Vital sign – Tekanan darah normal < 140/90 mmHg; Bila TD < 90/ 60 mmHg, N > 100 x/ menit (terjadi masalah); Masalah yang timbul kemungkinan adalah demam atau perdarahan.
2.      Suhu – S > 380 C (identifikasi masalah); Kemungkinan terjadi dehidrasi ataupun infeksi.
3.      Nadi
4.      Pernafasan
5.      Tonus uterus dan tinggi fundus uteri – Kontraksi tidak baik maka uterus teraba lembek; TFU normal, sejajar dengan pusat atau dibawah pusat; Uterus lembek (lakukan massase uterus, bila perlu berikan injeksi oksitosin atau methergin).
6.      Perdarahan – Perdarahan normal selama 6 jam pertama yaitu satu pembalut atau seperti darah haid yang banyak. Jika lebih dari normal identifikasi penyebab (dari jalan lahir, kontraksi atau kandung kencing).
7.      Kandung kencing – Bila kandung kencing penuh, uterus berkontraksi tidak baik.
Tanda Bahaya Kala IV

Selama kala IV, bidan harus memberitahu ibu dan keluarga tentang tanda bahaya :
1.      Demam.
2.      Perdarahan aktif.
3.      Bekuan darah banyak.
4.      Bau busuk dari vagina.
5.      Pusing.
6.      Lemas luar biasa.
7.      Kesulitan dalam menyusui.
8.      Nyeri panggul atau abdomen yang lebih dari kram uterus biasa.
BAB III
PEMBAHASAN

    Persalinan adalah suatu proses dimana fetus dan plasenta keluar dari uterus, ditandai dengan peningkatan aktifitas myometrium ( frekuensi dan intensitas kontraksi) yang menyebabkan penipisan dan pembukaan serviks serta keluarnya lendir darah (“show”) dari vagina. Lebih dari 80% proses persalinan berjalan normal,15-20% terjadi komplikasi persalinan. UNICEF dan WHO menyatakan bahwa hanya 5% -10% saja yang membutuhkan seksio sesarea.
      Dari data WHO 1999, Terdapat 180-200 juta kehamilan setiap tahunnya dan 585 ribu kematian wanita hamil berkaitan dengan komplikasi. 24.8% terjadi perdarahan,14.9 % infeksi, 12,9 % eklampsia, 6,9 % distosia saat persalinan, 112,9 % aborsi yang tidak aman, 27 % berkaitan dengan sebab lain. Sedangkan sebab utama kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan, Infeksi, eklampsia, partus lama dan komplikasi abortus. Perdarahan adalah sebab utama yang sebagian besar disebabkan perdarahan pasca salin. Hal ini menunjukan adanya managemen persalinan kala III dan IV yang kurang adekuat.
      Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997 mengungkapkan bahwa partus lama merupakan penyebab kesakitan maternal dan perinatal utama disusul oleh perdarahan, panas tinggi, dan eklampsi. Pola morbiditas maternal menggambarkan pentingnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terampil, karena sebagian besar komplikasi terjadi pada saat sekitar persalianan. 24,6 % persalianan dengan komplikasi harus ditolong dengan seksio sesarea, sebagian besar dari kasus ini disebabkan oleh partus lama dan perdarahan. Oleh karena itu diperlukan pemantauan pada proses persalinan setelah lahirnya plasenta 1-2 jam setelah itu ( Kala IV ).
BAB IV
PENUTUP
1.      Kesimpulan
     Kala IV adalah dimulai sejak plasenta lahir 1-2 jam sesudahnya,hal-hal ini yang perlu diperhatikan adalah kontraksi uterus sampai uterus kembali kebentuk normal.Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan rangsangan taktil (masase) untuk merangsang uterus berkontraksi baik dan kuat.perlu juga diperhatikan bahwa plasenta telah lahir lengkap dan tidak ada yang tersisa sedikitpun dalam uterus serta benar-benar dijamin tidak terjadi perdarahan lanjut. Perkiraan pengeluaran darah, laserasi atau luka episiotomi serta pemantauan dan evaluasi lanjut  juga perlu diperhatikan.
1.      Saran
v  Masyarakat
Bagi suami maupun keluarga diharapkan agar lebih aktif, turut serta dalam menjaga kesehatan ibu. Dan dapat memberikan secara psikis maupun moril terhadap ibu yang mengalami masa post partum.Mendukung kinerja pemerintah dalam menurunkan AKI.
Saran yang dapat diberikan pada ibu yang mengalami penjahitan pada daerah perinium, yaitu :
·         Menjaga perineum ibu selalu dalam keadaan kering dan bersih.
·         Menghindari penggunaan obat-obat tradisional pada lukanya.
·         Mencuci perineum dengan air sabun dan air bersih sesering mungkin.
·         Menyarankan ibu mengkonsumsi makanan dengan gizi yang tinggi.
·         Menganjurkan banyak minum.
·         Kunjungan ulang dilakukan 1 minggu setelah melahirkan untuk memeriksa luka jahitan.
v  Pemerintah
Bagi pemerintah diharapkan agar berupaya meningkatkan pemberdayaan tenaga kesehatan khususnya Bidan, agar persalinan dapat ditangani oleh tenaga ahli secara komprehensip untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi agar terlaksana dengan baik.
v  Tenaga Kesehatan
Bagi tenaga kesehatan, khususnya bidan diharapakan agar meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan asuhan kebidanan, serta lebih peka untuk mengidentifikasi tanda bahaya dalam persalinan agar dapat dengan segera d

























BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Adapun yang melatarbelakangi makalah ini yang membahas mengenai “ Atonia Uteri” adalah agar kita dapat mengetahui apa itu atonia uteri dan bagaimana cara penatalaksanaan pada atonia uteri. Makalah ini dibuat agar mahasiswa lebih memahami lagi tentang pengertian, penyebab, dan cara penanganan atonia uteri.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan Pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi
Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana Myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. (Apri, 2007).

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan tentang pengertian atonia uteri
2. Menjelaskan factor penyebab terjadinya atonia uteri
3. menjelaskan tanda dan gejala terjadinya atonia uteri
4. Menjelaskan cara penanganan atau penatalaksanaan atonia uteri

C. Tujuan Penulisan
1.  Mengetahui dan memahami tentang atonia uteri
2.   Menambah pengetahuan tentang atonia uteri
3. Dapat mengetahui mengenai pengertian, etiologi, factor penyebab, dan juga penatalaksanaan atonia uteri.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 pengertian Atonia Uteri
Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri(plasenta telah lahir).
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot myometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek.
Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana Myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. (Apri, 2007).

2.2. Faktor Penyebab Terjadinya Atonia Uteri
Beberapa faktor Predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca persalinan yang disebabkan oleh Atonia Uteri, diantaranya adalah :
1.      Uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan, diantaranya :
·         Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)
·         Kehamilan gemelli
·         Janin besar (makrosomia)
2.      Kala satu atau kala 2 memanjang
3.      Persalinan cepat (partus presipitatus)
4.      Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5.      Infeksi intrapartum
6.      Multiparitas tinggi
7. magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada   preeklamsia atau eklamsia.
            8. umur yang terlalu tua atau terlalu muda(<20 tahun dan >35 tahun)
           
Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.

2.3 Manifestasi Klinis
1.      Uterus tidak berkontraksi dan lembek
2.      Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)
2.4 Tanda dan gejala atonia uteri
            1. perdarahan pervaginam
                        Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa sering terjadi pada kondisi ini adalah darah keluar disertai gumpalan disebabkan tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah
            2. konsistensi rahim lunak
                        Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya
            3. fundus uteri naik    
            4. terdapat tanda-tanda syok
                a. nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)
    b. tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg
    c. pucat
    d. keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap
    e. pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih
    f. gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran
    g. urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)                       

2.5 diagnosis
            Diagnosis ditegakan bila setelah bayi dan plasenta lahir  ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.

2.6 Pencegahan Atonia Uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bonus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.

2.7 Langkah-langkah Penatalaksanaan Atonia Uteri
            Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam keadaaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan tergantung pada keadaaan klinisnya.

NO
Langkah penatalaksanaan
Alasan
1
Masase fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta(maksimal 15 detik)
Masase merangsang kontraksi uterus. Saat dimasase dapat dilakukan penilaia kontraksi uterus
2
Bersihkan bekuan darah adan selaput ketuban dari vaginadan lubang servik



Bekuan darah dan selaput ketuban dalam vagina dan saluran serviks akan dapat menghalang kontraksi uterus secara baik.
3
Pastikan bahwa kantung kemih kosong,jika penuh dapat  dipalpasi, lakukan kateterisasi menggunakan teknik aseptik
Kandung kemih yang penuh akan dapat menghalangi uterus berkontraksi secara baik.
4
Lakukan Bimanual Internal (KBI) selama 5 menit
Kompresi bimanual internal memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah dinding uterusdan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi.
5
Anjurkan keluarga untuk mulai membantu kompresi bimanual eksternal
Keluarga dapat meneruskan kompresi bimanual eksternal selama penolong melakukan langkah-langkah selanjutnya
6
Keluarkan tangan perlahan-lahan
Menghindari rasa nyeri
7
Berikan ergometrin 0,2 mg IM (kontraindikasi hipertensi) atau misopostrol 600-1000 mcg
Ergometrin dan misopostrol akan bekerja dalam 5-7 menit dan menyebabkan kontraksi uterus
8
Pasang infus menggunakan jarum 16 atau 18 dan berikan 500cc ringer laktat + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 cc pertama secepat mungkin
Jarum besar memungkinkan pemberian larutan IV secara cepat atau tranfusi darah. RL akan membantu memulihkan volume cairan yang hilang selama perdarahan.oksitosin IV akan cepat merangsang kontraksi uterus.
9
Ulangi kompresi bimanual internal
KBI yang dilakukan bersama dengan ergometrin dan oksitosin atau misopostrol akan membuat uterus berkontraksi
10
Rujuk segera
Jika uterus tidak berkontaksiselama 1 sampai 2 menit, hal ini bukan atonia sederhana. Ibu membutuhkan perawatan gawat darurat di fasilitas yang mampu melaksanakan bedah dan tranfusi darah
11
Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan melakukan KBI
Kompresi uterus ini memberikan tekanan langung pada pembuluh darah dinding uterus dan merangsang uterus berkontraksi
12
Lanjutkan infus RL +20 IU oksitosin dalam 500 cc larutan dengan laju 500 cc/ jam sehingga menghabiskan 1,5 I infus. Kemudian berikan 125 cc/jam. Jika tidak tersedia cairan yang cukup, berikan 500 cc yang kedua dengan kecepatan sedang dan berikan minum untuk rehidrasi
RL dapat membantu memulihkan volume cairan yang hilang akibat perdarahan. Oksitosin dapat merangsang uterus untuk berkontraksi.

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.

 Manajemen Atonia Uteri ( Penatalaksanaan)
1.   Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.


2.  Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan.Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik),Jika uterus berkontraksi maka lakukan evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera

3. Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong,Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
·         Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2  menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.
·         Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI
·         Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat
Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera

4. pemberian Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi.

5. Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.

6.Ligasi arteri Iliaka Interna                                                      
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.

Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.

7. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang jmembutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.

8. Kompresi bimanual atonia uteri
Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan tangan telanjang yang telah dicuci.
Teknik :
Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan tidak diperlukan
1. Eksplorasi dengan tangan kiri
Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina
1. Tangan kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus dari belakang atas
2. Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar
Ia tidak hanya menekan uterus, tetapi juga meregang pembuluh darah aferen sehingga menyempitkan lumennya.Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10-15 menit.Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering menghentikan perdarahan secara sempurna























  


No comments:

Post a Comment