EFEK KOMUNIKASI MASSA TERHADAP BUDAYA


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam strategi komunikasi, media komunikasi merupakan komponen yang paling banyak menyita perhatian. Mengapa demikian? Karena jumlahnya banyak serta sifatnya heterogen dan anonim. Sedangkan mereka harus dicapai seraya menerima setiap pesan secara indrawi dan secara rohani. Yang dimaksud indrawi disini ialah diterimanya suatu pesan jelas bagi indra mata dan terang untuk indera  telinga. Yang dimaksud rohani ialah sebagai terjemahan dari bahasa asing “accepted” yaitu diterimanya suatu pesan yang sesuai dengan kerangka inferensinya (Frame of Referencenya). Paduan dari usia, agama, pendidikan, kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan lainnya. Kerangka referensi tertentu menimbulkan kepentingan dan minat (interent) tertentu.
Berdasarkan hal-hal tersebut ada suatu pesan dari media massa yang diminati oleh seluruh khalayak. ada juga disenangi oleh kelompok tertentu, misalnya kelompok usia anak-anak, remaja, dewasa, kelompok agama islam, kristen, budha, hindu, bali dan lain-lain. Kelompok etnis, sunda, jawa, manado dan sebagainya.
Efek dari pesan yang disebarluaskan oleh komunikator melalui media massa timbul pada komunikan sebagai sasaran komunikasi. Oleh karena itu efek melekat pada khalayak sebagai akibat dari perubahan psikologi mengenai efek ini yaitu diklasifikasikan sebagai efek kofnitif (Cognitive Effect) atau efek konatif yang sering disebut efek behavioral (Behavioral Effect).[1]


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Teori Agenda – Setting
Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs dan Dl. Show dalam Public Opinion Quartely tahun 1972, berjudul The Agenda – Setting Function of Mass Media. Asumsi dasar teori agenda – setting adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi, apa yang dianggap penting bagi media, maka penting juga  bagi masyarakat. Oleh karena itu, apabila media massa memberi perhatian pada isi tertentu dan mengabaikan  yang lainnya, akan memiliki pengaruh terhadap pendapat umum. Asumsi ini berasal dari asumsi lain bahwa media massa memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar dan bukan dengan perubahan sikap dan pendapat. Teori agenda-setting menganggap bahwa masyarakat akan belajar mengenai isu-isu apa, dan bagaimana isu-isu tersebut tersusun berdasarkan tingkat kepentingannya.

McCombs dan Donald Shaw mengatakan pula bahwa Audience tidak hanya mempelajari berita-berita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penting diberikan suatu isu atau topik dari cara media massa memberikan penekanan terhadap topik tersebut. Misalnya, dalam merefleksikan apa yang dikatakan oleh para kandidat dalam suatu kampanye Pemilu. Media massa terlihat menentukan mana topik yang penting. Dengan kata lain, media massa menetapkan “agenda” kampanye tersebut dan kemampuan untuk mempengaruhi perubahan kognitif individu ini merupakan aspek penting dari kekuatan komunikasi massa.[2]


2.      Teori Dependensi
Teori yang dikembangkan oleh Sandra Ball. Rokeach dan melvia L. Defleur memfokuskan perhatiannya pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecendrungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini pada dasarnya merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang terangkat dari gagasan mengenai sifat suatu masyarakat modern (masyarakat massa), dimana media massa dapat dianggap sebagai informasi yang memiliki peran penting dalam proses pemeliharaan, perubahan dan komplik pada tatanan masyarakat, kelompok atau individu dalam aktivitas sosial. Pemikiran terpenting dalam teori ini adalah bahwa dalam masyarakat modern, audience menjadi tergantung pada media massa sebagai sumber informasi bagi pengetahuan tentang dan orientasi kepada apa yang terjadi dalam masyarakat.
Menurut (Sendjaya, 2002; 5.27) pembahasan lebih lanjut mengenai teori ini ditujukan pada jenis-jenis efek yang dapat dipelajari melalui teori ini.secara ringkas kajian terhadap efek tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
a)      Kognitif, menciptakan atau menghilangkan ambiglitas, pembentukan sikap, agenda-setting, perluasan sistem keyakinan masyarakat, penegasan/penjelasan nilai-nilai.
b)      Afektif, menciptakan ketakutan atau kecemasan dan meningkatkan atau menurunkan dukungan moral.
c)      Behavioral, mengaktifkan atau menggerakkan atau meredakan, pembentukan isu tertentu atau penyelesaiannya, menjangkau atau menyediakan strategi untuk suatu aktivitas atau menyebabkan perilaku dermawan.[3]

3.      Spriral of Silence
Teori Spiral of Silence atau Spiral kebiusan berkaitan dengan pertanyaan mengenai bagaimana terbentuknya pendapat umum. Ditemukan pertama kali oleh Elizabeth Noelle-Neuman, Sosiolog Jerman, pada tahun 1974.  Teori ini menjelaskan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut terletak dalam suatu proses saling mempengaruhi antara komunikasi massa. Komunikasi antar pribadi dan persepsi individu atas pendapatnya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat orang lain dalam masyarakat.
Teori ini berdasarkan asumsinya pada pemikiran sosial-psikologi tahun 30-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat tergantung pada apa yang dipikirkan oleh orang lain. Atau atas apa yang orang rasakan sebagai pendapat dari orang lain, perangkat dari asumsi tersebut. Spiral of Silence selanjutnya menjelaskan bahwa individu pada umumnya berusaha untuk menghindari keyakinan tertentu. Oleh karenanya, orang yang akan mengamati lingkungannya untuk mempelajari pandangan-pandangan mana yang bertahan dan mendapatkan dukungan dan mana yang tidak dominan atau populer, jika orang merasakan bahwa pandangannya termasuk diantara yang tidak dominan dan populer, maka ia cenderung kurang berani mengekpresikannya karena adanya ketakutan akan isolasi tersebut.

4.      Information Gaps
Latar belakang pemikiran ini terbentuk oleh arus informasi yang terus meningkat, yang sebagian besar yang dilakukan oleh media massa. Secara teoritis peningkatan ini akan menguntungkan sikap orang dalam masyarakat karena setiap individu sekelilingnya atau di dunia yang tentunya akan membantu dirinya dalam  memperluaskan. Namun informasi seringkali menghasilkan efek negatif, dimana peningkatan pengetahuan pada kelompok tertentu akan menjauh  dan meninggalkan kelompok lainnya. Dalam hal seperti ini Information Gaps akan terjadi dan terus meningkat sehingga menimbulkan jarak antara kelompok sosial yang satu dengan  yang lainnya dalam hal pengetahuan mengenai suatu topik tertentu.
Everret M. Rogers mengatakan bahwa, informasi bukan hanya menghasilkan melebarnya Knowledge Gaps, tetapi juga gaps yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Menurutnya komunikasi massa bukan  satu-satunya penyebab terjadinya gaps tersebut, tetapi efek juga  terjadi pada komunikasi langsung antar individu (Sedjaja, 2002, 5.30)

5.      Uses and Gratifications
Model ini merupakan  pergeseran fokus dan tujuan komunikator ketujuan komunikan. Model ini menentukan fungsi komunikasi massa dalam melayani khalayak.
Model ini menunjukkan bahwa yang menjadi permasalahan utama bukanlah  bagaimana media mengubah sikap dan perilaku khalayak, tetapi bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. jadi, bobotnya ialah pada khalayak yang aktif yang sengaja menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus.
Mengenai kebutuhan biasanya orang merujuk kepada hirarki kebutuhan (need hierarchy) yang ditampilkan oleh Abraham maslow (1954), ia membedakan lima perangkat kebutuhan dasar.
a.       Physiological needs (kebutuhan fisiologi)
b.      Safety needs (kebutuhan keadaan)
c.       Love needs (kebutuhan cinta)
d.      Esteem needs (kebutuhan penghargaan)
e.       Self-actualization needs (kebutuhan aktualisasi diri).[4]

6.      Cultural Norms Teory (Teori norma Budaya)
Teori norma budaya menurut Melvin Befleur hakikatnya adalah bahwa media massa melalui penyajiannya yang selektif  dan penekanannya pada tema-tema tertentu, menciptakan kesan-kesan khalayak dimana norma-norma budaya umum mengenai topik yang diberi bobot itu, dibentuk dengan cara-cara tertentu. Oleh karena itu, perilaku individual biasanya dipandu oleh norma-norma budaya mengenai suatu hal tertentu. Maka media komunikasi secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku.
Dalam hubungan ini terdapat paling sedikit tiga cara dimana media secara potensial mempengaruhi situasi dan norma bagi individu-individu.
1)      Pesan komunikasi massa akan memperkuat pola-pola yang sedang berlaku dan memandu khalayak untuk percaya bahwa suatu bentuk sosial tertentu tengah dibina oleh masyarakat.
2)      Media komunikasi dapat menciptakan keyakinan baru mengenai hal-hal dimana khalayak sedikit banyak telah memiliki pengalaman sebelumnya.
3)      Komunikasi massa dapat mengubah nama-nama yang tengah berlaku dan karenanya mengubah khalayak dari suatu bentuk perilaku menjadi perilaku yang lain.[5]


BAB III
KESIMPULAN

Media massa sangat kuat pengaruhnya pada masyarakat sebagai sasaran komunikasi. Oleh karena itu, efek komunikasi massa sangat melekat pada masyarakat sebagai akibat dari psikologis. Maka efek komunikasi massa menjadi tolak ukur dalam keberhasilan.
Teori efek komunikasi massa ini berbeda satu sama lainnya namun ada hubungannya dan masing-masing teori digunakan menurut kegunaannya atau pada pola perilaku khalayak, karena para pakar melihat dari sudut yang  berbeda-beda. Teori yang dimaksud disini yaitu:
a.       Teori agenda-setting
b.      Teori dependensi
c.       Spiral of silence
d.      Information gaps
e.       Uses and grafication
f.        Norma budaya


DAFTAR PUSTAKA

Onong uchjana Effendy, Ilmu,Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993)

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, (Jakarta: Kencana, 2007)


[1] Onong uchjana Effendy, Ilmu,Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 315-318
[2] Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 281-282
[3] I b i d, 282-283
[4] I b i d, Onong Uchjana Effendy, hal. 289-290
[5] I bi d, hal. 279

No comments:

Post a Comment