MAKALAH HUKUM PERDATA


BAB I
PENDAHULUAN

Perwalian (Voogdij) adalah: Pengawasan terhadap anak yang dibawah umur,  yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. Anak  yang berada dibawah perwalian adalah:
1.      Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua
2.      Anak sah yang orang tuanya telah bercerai
3.      Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijke kind)
Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada  seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali-ibu (moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd. Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut Undang-undang Orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut Undang-undang (Wettelijke Voogdij).  Seorang anak yang lahir diluar  perkawinan berada dibawah perwalian orang tua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan  orang tua ternyata tidak mempunyai wali,  hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatanya (datieve voogdij). Tetapi adajuga kemungkinan, seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya (testamen) mengangkat seorang wali bagi anaknya.Perwalian semacam ini disebut perwalian menurut Wasiat (tertamentair voogdij). Seseorang yang telah ditunjuk untuk menjadi wali harus menerima pengangkatan tersebut, kecuali jika  ia mempunyai alasan-alasan tertentu menurut Undang-undang dibenar untuk dibebaskan dari pengangkatan tersebut.






BAB II
PEMBAHASAN

A.     Konsep Dasar Perwalian
Dalam KUH Perdata Pasal 330 ayat 3 disebutkan bahwa pengertian dari Perwalian itu, yaitu:
"Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini".[1]
            Pada dasarny setiap orang mempunyai ‘kapi tidak setekuasaan berhak’ karena ia merupakan subjek hukum. Tetapi tidak setiap orang cakap melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Secara umum, orang-orang yang disebut meerderjarigheid dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah, kecuali jika undang-undang tidak tidak menentukan demikian. Misalnya, seorang pria yang telah genap mencapai umur 18 tahun sudah dianggap cakap untuk melangsungkan perkawinan.
            Batasan umur sesorang agar dianggap sebagai meerderjarig atau minderjaring tidak sama untuk setiap Negara. Menurut Pasal 330 KUH Perdata, terdapat tiga ketentuan penting yang berkaitan dengan status hukum anak apakah sebagai meerderjarig  atau minderjaring:
Ayat 1: batas antara  meerderjarigheid  atau minderjaringheid, yaitu 21 tahun, kecuali jika:
a.       Anak tersebut sudah kawin sebelum mencapai umur genap 21 tahaun
b.      Perlunakan (handleichting atau veniaaetatis) Pasal 419 KUH Perdata, dan selanjutnya.
Ayat 2: pembubaran perkawinan yang terjadi pada seseorang yang  belum mencapai umur genap 21 tahun, tidak berpengaruh terhadap status meerderjarigheid yang telah diperolehnya.
Ayat 3: mereka yang masih minderjarigheid dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua akan berada dibawah perwalian.[2]

B.     Asas-Asas Perwalian
Didalam sistem perwalian menurut KUH Perdata ada dikenal beberapa asas, yakni:
1.      Asas Tak Dapat Dibagi-bagi ( Ondeelbaarheid )
Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331 KUH Perdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam 2 hal, yaitu:
a.    Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (Langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta, pasal 351 KUH Perdata.
b.    Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang minderjarige  diluar Indonesia didasarkan pasal 361 KUH Perdata.
2.      Asas Persetujuan Dari Keluarga.
Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah  diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUH Perdata.

C.     Orang-Orang Yang Dapat Ditunjuk Sebagai Wali
Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:
1.      Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama
Pasal 345-354 KUH Perdata Pasal 345 KUH Perdata menyatakan:
"Apabila  salah satu dari kedua  orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang  hidup  terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya."
2.      Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri.
Pasal 355 ayat 1 KUH Perdata menyatakan bahwa:
" Orang tua masing-masing yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian atas seorang anak atau lebih berhak mengangkat seorang wali atas anak itu apabila sesudah ia meninggal dunia perwalian itu tidak ada pada orang tua yang lain baik dengan sendirinya ataupun karena putusan hakim seperti termasuk dalam pasal 353 ayat 5 KUH Perdata. Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua  berhak mengangkat  wali  kalau perwalian tersebut memang masih terbuka”.
3.      Perwalian yang Diangkat oleh Hakim.
Pasal 359 KUH Perdata menentukan:
" Semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang  wali oleh Pengadilan”.[3]

Menurut pasal 379  KUH Perdata disebutkan ada 5 golongan orang yang digolongkan atau tidak boleh menjadi wali, yaitu :
1)      mereka yang sakit ingatan (krankzninngen)
2)      mereka yang belum dewasa (minderjarigen)
3)      mereka yang berada dibawah pengampuan
4)      mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian atau penetapan pengadilan.
5)      para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen balai harta peninggalan, kecuali terhadap anak-anak atau anak tiri mereka sendiri.


Dalam pasal 331 a KUHPerdata, disebutkan:
1.      Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya.
2.      Jika seorang willi diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari saat orang tua itu meniggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut.
3.      Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah seorang orang tua.

D.    Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan, yaitu :
1.      Dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena :
·        Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig).
·        Matinya si anak.
·        Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.
·        Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui.
2.      Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena :
·        Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.
·        Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (pasal 380 KUHP Perdata).[4]





DAFTAR PUSTAKA


Triwulan Tutik,Titik., Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, ed.1, cet.1, Jakarta: Kencana, 2008.



No comments:

Post a Comment