Kata Pengantar
Puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya penyusun diberi
kesehatan sehingga makalah yang berjudul “komplikasi persalinan kala III” dapat
selesai dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah obsetri, dimana
sumber materi disadur dari buku-buku yang relevan guna menunjang keakuratan
materi yang nantinya akan di sampaikan.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan. Oleh karena itu, penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih
kepaada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Palangka Raya,
MAKALAH KOMPLIKASI PERSALINAN KALA III &
KALA IV
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Tingginya angka kematian ibu dan anak umumnya
akibat ahli kebidanan atau bidan terlambat mengenali, terlambat merujuk pasien
ke perawatan yang lebih lengkap, terlambat sampai di tempat rujukan, dan
terlambat ditangani.
Penanganan rujukan obstetri merupakan mata
rantai yang penting, menjadi faktor penentu dari hasil akhir dari kehamilan dan
persalinan. Kurang lebih 40% kasus di RS merupakan kasus rujukan. Kematian
maternal di RS pendidikan 80-90% merupakan kasus rujukan. Kematian perinatal di
RS pendidikan kurang lebih 60% berasal dari kelompok rujukan.
Oleh karena itu bidan wajib mempelajari materi
ini untuk dapat mencegah dan menangani langsung komplikasi-koplikasi yang
mungkin terjadi pada persalinan kala III.
1.2. Tujuan
1.
Mengetahui macam-macam komplikasi persalinan kala III.
2.
Mengetahui pengertian, jenis, gejala, tanda-tanda dan cara mencegah atonia
uteri.
3.
Mengetahui pengertian, jenis, gejala, tanda-tanda dan cara penanganan retensio
plasenta.
4.
Mengetahui pengertian, jenis, gejala, tanda-tanda, dan cara penanganan
perlukaan jalan lahir.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Komplikasi Persalinan
2.1.1. Atonia Uteri
Atonia
uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum.
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah
melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis
dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh
darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi
apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi.
Batasan: Atonia uteri
adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan plasenta lahir.
Penyebab :
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan
melahirkan dengan faktor predisposisi (penunjang ) seperti :
1.
Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau paritas
tinggi.
2. Umur yang
terlalu muda atau terlalu tua.
3. Multipara
dengan jarak kelahiran pendek
4. Partus lama
/ partus terlantar
5. Malnutrisi.
6. Penanganan
salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta belum terlepas dari
dinding uterus.
Gejala Klinis:
1.
Uterus tidak berkontraksi dan lunak
2.
Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3).
Pencegahan atonia uteri.
Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen
aktif kala III, yaitu pemberian oksitosin segera setelah bayi lahir (Oksitosin
injeksi 10U IM, atau 5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-20 U perliter
Intravenous drips 100-150 cc/jam.
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat
mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat
mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi.
Menejemen aktif kala III dapat mengurangi
jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi
darah.Oksitosin mempunyai onset yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan
tekanan darah atau kontraksi tetani seperti preparat ergometrin.
Masa paruh oksitosin lebih cepat dari
Ergometrin yaitu 5-15 menit.
Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir ini
digunakan sebagai pencegahan perdarahan postpartum.
2.1.2. Retensio Plasenta
Definisi
keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam setelah bayi lahir.
Epidemiologi
16-17 % dari kasus perdarahan postpartum
Penyebab
1. Plasenta
belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam.
Menurut tingkat perlekatannya :
a. Plasenta
adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
b. Plasenta
inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium
sampai ke miometrium.
c. Plasenta
akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
d. Plasenta
perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim.
2. Plasenta
sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau
adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan
penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta
inkarserata).
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak
akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan
terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya.
Plasenta mungkin pula tidak keluar karena
kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu keduanya harus dikosongkan.
Penegakan diagnosis
Plasenta belum lahir selama 1jam setelah bayi
lahir.
Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah
perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
Berdasarkan penyebab perdarahan postpartum
1. Atoni uteri (50-60%).
2. Retensio plasenta (16-17%).
3. Sisa plasenta (23-24%).
4. Laserasi jalan lahir (4-5%).
5. Kelainan darah (0,5-0,8%).
Penatalaksanaan
Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran
plasenta dilakukan apabila plasenta belum lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi
lahir terlebih lagi apabila disertai perdarahan.
Tindakan penanganan retensio plasenta :
1. Memberikan
informasi kepada ibu tentang tindakan yang akan dilakukan
2. Mencuci
tangan secara efektif
3. Melaksanakan
pemeriksaan umum
4. Mengukur
vital sign,suhu,nadi,tensi,pernafasan
5. Melaksanakan
pemeriksaan kebidanan
a.inspeksi,
b.palpasi, c.periksa dalam
6. Memakai
sarung tangan steril
7. Melakukan
vulva hygiene
8. Mengamati
adanya gejala dan tanda retensio plasenta
9. Bila
placenta tidak lahir dalam 30 menit sesudah lahir,atau terjadi perdarahan
sementara placenta belum lahir,maka berikan oxytocin 10 IU IM.
pastikan bahwa kandung kencing kosong dan tunggu
terjadi kontraksi,kemudian coba melahirkan plasenta dengan menggunakan
peregangan tali pusat terkendali
10. Bila dengan
tindakan tersebut placenta belum lahir dan terjadi perdarahan banyak,maka
placenta harus dilahirkan secara manual
11. Berikan
cairan infus NACL atau RL secara guyur untuk mengganti cairan
Manual plasenta :
1. Memasang
infus cairan dekstrose 5%.
2. Ibu posisi
litotomi dengan narkosa dengan segala sesuatunya dalam keadaan suci hama.
3. Teknik :
tangan kiri diletakkan di fundus uteri, tangan kanan dimasukkan dalam rongga
rahim dengan menyusuri tali pusat sebagai penuntun.
Tepi plasenta dilepas – disisihkan dengan tepi
jari-jari tangan – bila sudah lepas ditarik keluar. Lakukan eksplorasi apakah
ada luka-luka atau sisa-sisa plasenta dan bersihkanlah. Manual plasenta
berbahaya karena dapat terjadi robekan jalan lahir (uterus) dan membawa infeksi
Komplikasi
Perdarahan
menyebabkan syok hemoragik yang berakibat pada kematian.Retensio Plasenta
adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30
menit setelah bayi lahir . (Prawirohardjo,2002)
Jenis-jenis retensio Plasenta :
1. Plasenta
adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga
menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2. Plasenta
akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian
lapisan miomentrium.
3. Plasenta
inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/memasuki
miomentrium.
4. Plasenta
perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yng
menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan
serosa dinding uterus.
5. Plasenta
inkaserata adalah tertahannya plasenta didalam kavum uteri,
disebabkan oleh kontriksi ontium uteri.
2.1.3. Robekan / Perlukaan Jalan Lahir
1. Pengertian Robekan Jalan
Lahir
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah
lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan
tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.
Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
a.
Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada hampir semua
persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan
perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala
janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala
janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada
sirkumferensia suboksipito bregmatika
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan
yang membentuk perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan anus,
panjangnya kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999). Jaringan yang terutama
menopang perinium adalah diafragma pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis
terdiri dari muskulus levator ani dan muskulus koksigis di bagian posterior
serta selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk
otot yang lebar bermula dari permukaan posterior ramus phubis superior, dari
permukaan dalam spina ishiaka dan dari fasia obturatorius.
Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat
berikut ini: di sekitar vagina dan rektum, membentuk sfingter yang efisien
untuk keduanya, pada persatuan garis tengah antara vagina dan rektum, pada
persatuan garis tengah di bawah rektum dan pada tulang ekor.
Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar
diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuberositas iskial dan
simpisis phubis. Diafragma urogenital terdiri dari muskulus perinialis
transversalis profunda, muskulus konstriktor uretra dan selubung fasia interna
dan eksterna (Cunningham, 1995).
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi
akibat persalinan pada bagian perinium dimana muka janin menghadap
(Prawirohardjo S,1999).
Luka perinium, dibagi atas 4 tingkatan :
Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender
vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perinium
Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender
vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium
dan otot spingter ani
Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum
Umumnya terjadi
pada persalinan karena :
1.
Kepala janin terlalu cepat lahir
2.
Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3.
Jaringan parut pada perinium
4.
Distosia bahu
Tanda dan Gejala yang selalu ada :
1.
Pendarahan segera
2.
Darah segar yang mengalir segera setelah bayi hir
3.
Uterus kontraksi baik
4.
Plasenta baik
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada
1.
Pucat
2.
Lemah
3.
Menggigil
b.
Rupture Uteri
Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling
gawat dalam bidang kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada
ruptur uteri yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal
dalam kavum abdomen.
Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian
ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akiat
dilampauinya daya regang mio metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi
janin dan panggul, partus macet atau traumatik.
Ruptura uteri termasuk salahs at diagnosis
banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut
bawah, diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat
mencapai kandung kemih dan organ vital di sekitarnya. Menurut waktu terjadinya,
ruptur uteri dapat dibedakan:
1.
Ruptur Uteri Gravidarum adalah rupture yang terjadi waktu sedang hamil, sering
berlokasi pada korpus.
2.
Ruptur Uteri Durante Partum adalah rupture yang terjadi waktu melahirkan anak,
lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak.
Ruptur uteri
dapat dibagi menurut beberapa cara :
1.
Menurut lokasinya:
2.
Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami
operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ), miemoktomi
3.
Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan
lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya
terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya
4.
Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsipal atau
versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap
5.
Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina
2.
Menurut robeknya peritoneum
1.
Rupture uteri Kompleta : robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya (
perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi hubungan langsung antara rongga perut dan
rongga uterus dengan bahaya peritonitis
2.
Rupture uteri Inkompleta : robekan otot rahim tanpa ikut robek peritoneumnya.
Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke ligamen latum
3.
Menurut etiologinya
Ruptur uteri spontanea menurut etiologinya
dikarenakan dinding rahim yang lemah dan cacat, bekas seksio sesarea, bekas
miomectomia, bekas perforasi waktu keratase.
Pembagian
rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :
1. Ruptur uteri kompleta
a. Jaringan peritoneum ikut robek
b. Janin terlempar ke ruangan abdomen
c. Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen
d. Mudah terjadi infeksi
2.
Ruptura uteri inkompleta
a. Jaringan peritoneum tidak ikut robek
b. Janin tidak terlempar ke dalam ruangan
abdomen
c. Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak
terjadi
d. Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.1.1.
Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan plasenta lahir.
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor
predisposisi (penunjang ) seperti :
a.
Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau paritas
tinggi.
b.
Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
c.
Multipara dengan jarak kelahiran pendek
d.
Partus lama / partus terlantar
e.
Malnutrisi.
f.
Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta belum
terlepas dari dinding uterus.
Gejala Klinis:
a. Uterus tidak berkontraksi dan lunak
b. Perdarahan segera setelah plasenta dan janin
lahir (P3).
3.1.2.
Definisi retensio plasenta keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam
setelah bayi lahir. Penyebabnya adalah karena plasenta belum terlepas dari
dinding rahim dan melekat serta tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat
perlekatannya :
a. Plasenta
adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
b. Plasenta
inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium
sampai ke miometrium.
c. Plasenta
akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
d. Plasenta
perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim.
3.1.4.
Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
a.
Robekan Perinium
Robekan
perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga
pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan
bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis
lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan
ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika. Luka
perinium, dibagi atas 4 tingkatan :
Tingkat I :
Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit
perinium
Tingkat II :
Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi
tidak mengenai spingter ani
Tingkat III :
Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani
Tingkat IV :
Robekan sampai mukosa rektum.
Umumnya terjadi
pada persalinan karena :
1.
Kepala janin terlalu cepat lahir
2.
Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3.
Jaringan parut pada perinium
4.
Distosia bahu
Tanda dan
Gejala yang selalu ada :
1.
Pendarahan segera
2.
Darah segar yang mengalir segera setelah bayi hir
3.
Uterus kontraksi baik
4.
Plasenta baik
Gejala dan
tanda yang kadang-kadang ada
1.
Pucat
2.
Lemah
3.
Menggigil
b. Rupture
Uteri
Ruptur uteri
merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan karena angka
kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang terjadi di luar rumah sakit
sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum abdomen.
Menurut Sarwono
Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas
dinding rahim akiat dilampauinya daya regang mio metrium. Penyebab ruptura
uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik.
Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1.
Ruptur Uteri Gravidarum adalah rupture yang terjadi waktu sedang hamil, sering
berlokasi pada korpus.
2.
Ruptur Uteri Durante Partum adalah rupture yang terjadi waktu melahirkan anak,
lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak.
Pembagian rupture uteri menurut robeknya dibagi
menjadi :
a.
Ruptur uteri kompleta
a. Jaringan
peritoneum ikut robek
b. Janin
terlempar ke ruangan abdomen
c. Terjadi
perdarahan ke dalam ruangan abdomen
d. Mudah
terjadi infeksi
b.
Ruptura uteri inkompleta
a. Jaringan
peritoneum tidak ikut robek
b. Janin tidak
terlempar ke dalam ruangan abdomen
c. Perdarahan
ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
d. Perdarahan
dapat dalam bentuk hematoma
Menurut
lokasinya:
1. Korpus
uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi
seperti seksio sesarea klasik ( korporal ), miemoktomi
2. Segmen bawah
rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak maju,
SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri
yang sebenarnya
3. Serviks
uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsipal atau versi
dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap
4.
Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina
3.2.Saran
Disini, kami yang menyusun makalah ini hanya
mengambil bahan yang diperlukan dari beberapa buku sumber saja. Sehingga sangat
kurang apabila dibandingkan dengan apa yang seharusnya pembaca terima.
Kami menyarankan supaya pembaca tidak hanya
berpatokan pada makalah kami ini saja untuk dijadikan bahan belajar.
Alangkah baiknya bila para pembaca mencari bahan-bahan yang berkaitan dengan
makalah kami ini pada buku sumber yang lain atau pada media lainnya.
Sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
para pembaca tentang Komplikasi Persalinan Kala III.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Nugroho, Taufan. Buku Ajar Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan. Nuha medika.
Jogjakarta. 2010.
2.
Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri Jilid I. Buku kedokteran EGC. Jakarta.
1998.
3.
Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri Jilid I. Buku kedokteran EGC. Jakarta.
1998.
9.
file:///C:/Users/Acer/Downloads/komplikasi%20persalinan%20kala%20III/jenis-retensio-plasenta.html
No comments:
Post a Comment